Daily Dose Indonesia – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) akhirnya menanggapi polemik yang menyebut sumber air Aqua berasal dari sumur bor, bukan mata air alami. Wakil Menteri ESDM Yuliot Tanjung menegaskan bahwa seluruh kegiatan pengambilan air tanah oleh perusahaan air minum dalam kemasan (AMDK) telah diatur dan diawasi secara ketat sesuai dengan Peraturan Menteri ESDM Nomor 14 Tahun 2024.
“Jadi, untuk proses perizinannya sudah di detailkan di dalam Permen dan implementasinya di Badan Geologi,” kata Yuliot di Kementerian ESDM, mengutip CNBC, Jumat (24/10/2025).
Ia menambahkan, saat ini terdapat sekitar 4.700 izin pengusahaan air tanah di seluruh Indonesia, dengan sebagian besar difokuskan pada kegiatan industri dan produksi air kemasan yang telah melewati kajian hidrologi dan dampak lingkungan.
Lapisan Air Tanah: Antara Air Dangkal dan Air Dalam
Air tanah di Indonesia terbagi menjadi dua jenis utama, yakni air tanah dangkal dan air tanah dalam. Air tanah dangkal merupakan lapisan yang relatif mudah dijangkau dan biasanya berada pada kedalaman antara 5 hingga 40 meter di bawah permukaan tanah. Air tanah dangkal dilindungi lapisan tidak kedap air (permeable layer) terdiri dari kerikil, pasir, batu apung, batuan pecah-pecah (batu kapur). Jenis air ini sering dimanfaatkan oleh masyarakat untuk keperluan rumah tangga melalui sumur gali tradisional.
Sementara itu, air tanah dalam atau dikenal sebagai air akuifer artesis berada pada kedalaman lebih dari 100 meter, bahkan di beberapa wilayah bisa mencapai hingga 250 meter di bawah permukaan tanah. Air dalam ini terlindungi oleh lapisan kedap air (impermeable layer) berupa lapisan napal dan lempung, sehingga kualitasnya cenderung lebih stabil dan bersih dari kontaminasi permukaan.
Dalam konteks industri seperti Aqua, sumur bor digunakan untuk mengakses air dari lapisan akuifer dalam tersebut. Teknologi pengeboran modern memungkinkan perusahaan mengambil air secara terukur dan terkendali. Namun demikian, proses ini harus mengikuti analisis daya dukung dan daya tampung lingkungan untuk menghindari dampak ekologis jangka panjang.
Dampak Eksploitasi Air Tanah Dalam
Eksploitasi air tanah dalam secara berlebihan dapat menimbulkan berbagai masalah lingkungan yang serius. Salah satu dampak yang paling nyata adalah penurunan muka air tanah (land subsidence). Fenomena ini terjadi ketika volume air di bawah tanah terus disedot tanpa adanya pengisian ulang (recharge) yang seimbang. Akibatnya, rongga tanah kehilangan tekanan air, menyebabkan lapisan tanah mengempis dan permukaan bumi menurun.
Kondisi ini telah dirasakan di berbagai kota besar seperti Jakarta, Bandung, Semarang, Pasuruan, Mojokerto, dan Yogyakarta. Penurunan muka tanah bukan hanya berdampak pada infrastruktur bangunan dan jalan, tetapi juga berpotensi memicu intrusi air laut, terutama di kawasan pesisir.
Intrusi air laut sendiri terjadi ketika air asin dari laut menyusup ke dalam lapisan batuan yang semula mengandung air tawar. Air laut menggantikan posisi air tanah karena tekanan piezometrik air tanah telah menurun akibat eksploitasi berlebih. Akibatnya, air tanah menjadi payau dan tidak layak dikonsumsi.
Selain itu, eksploitasi air dalam yang tidak terkendali juga berpotensi merusak keseimbangan akuifer. Jika satu wilayah industri menyedot air tanah secara terus-menerus tanpa kontrol, maka wilayah sekitar dapat mengalami kekeringan atau menurunnya debit mata air alami yang sebelumnya menopang kebutuhan masyarakat sekitar.
Pelajaran untuk Konservasi Air
Kasus polemik sumber air Aqua dapat menjadi pelajaran penting bagi semua pihak, bahwa pengelolaan air tanah memerlukan keseimbangan antara kepentingan industri dan kelestarian lingkungan. Pemerintah melalui Kementerian ESDM telah menegaskan bahwa izin sumur bor akan terus diawasi, bahkan dicabut jika ditemukan pelanggaran atau pengambilan di luar batas wajar.
Untuk menjaga keberlanjutan sumber daya air, perusahaan dan masyarakat perlu menerapkan prinsip konservasi, seperti recharge area atau daerah resapan air, serta mengoptimalkan penggunaan air permukaan. Di sisi lain, penggunaan air tanah dalam seharusnya menjadi opsi terakhir, bukan sumber utama, terutama di wilayah yang padat penduduk dan memiliki laju urbanisasi tinggi.
Yuliot menekankan, pemerintah tidak menutup mata terhadap kekhawatiran publik. โIzin bisa dicabut bila ditemukan pelanggaran. Prinsip kehati-hatian tetap menjadi prioritas utama,โ ujarnya.
Dengan demikian, meskipun penggunaan sumur bor untuk industri air kemasan seperti Aqua telah sesuai izin, penting untuk diingat bahwa air tanah bukan sumber daya tak terbatas. Eksploitasi yang tidak bijak dapat menimbulkan kerusakan ekologis jangka panjang yang jauh lebih mahal untuk dipulihkan dibandingkan manfaat ekonomi sesaat yang diperoleh.
referensi
Anjayani, E. (2016). Mengenal Hidrosfer (hlm. 41). Saka Mitra Kompetensi





