Bolehkah Pengusaha Menahan Ijazah Pegawainya? Ini Penjelasan Hukumnya, Berkaca Kasus Wawali Surabaya Armuji vs Jan Hwa Diana

Cuplikan layar Youtube Wakil Walikota Surabaya Armuji saat mendampingi Wakil Menteri Tenaga Kerja Immanauel Ebenezer sidak ke gudang pengusaha Jan Hwa Diana.

DDI Kasus penahanan ijazah oleh perusahaan mencuat ke publik, setelah aksi viral Walil Walikota Surabaya, Armuji menginspeksi mendadak (sidak) gudang pengusaha Surabaya, Jan Hwa Diana, pemilik UD Sentosa Seal. Perusahaan ini dilaporkan oleh sejumlah mantan karyawan karena diduga menahan ijazah mereka sebagai jaminan kerja.

Meski sudah di sidak wakil walikota, namun ijazah pegawai yang tidak kunjung dikeluarkan membuat Wakil Menteri Tenaga Kerja, Immanuel Ebenezer ikut turun tangan akibat geregetan dengan aksi pengusaha Jan Hwa Diana yang penuh drama. Lantas, pertanyaannya: bolehkah perusahaan menahan ijazah karyawannya?

Bacaan Lainnya

Praktik Penahanan Ijazah: Antara Kesepakatan dan Pemaksaan

Dalam praktiknya, beberapa perusahaan memberlakukan kebijakan penahanan ijazah sebagai bentuk jaminan agar karyawan tidak keluar sebelum masa kerja tertentu. Seperti yang diungkapkan dalam laporan terhadap UD Sentosa Seal, karyawan diberi dua pilihan: menyerahkan ijazah sebagai jaminan atau membayar uang sebesar Rp 2 juta, yang bisa dicicil dan akan dikembalikan jika karyawan bekerja selama lima tahun. Namun, beberapa eks-karyawan mengaku ijazah mereka tak kunjung dikembalikan meski telah resign, dan gaji pun belum dilunasi.

Kasus semacam ini tidak hanya berujung pada sengketa ketenagakerjaan, tetapi juga berpotensi melanggar hukum.

Penahanan Ijazah Menurut Hukum di Indonesia

Penahanan dokumen pribadi seperti ijazah oleh perusahaan tidak diperbolehkan menurut hukum di Indonesia. Ijazah merupakan dokumen pribadi dan penting milik seseorang, serta bukan bagian dari aset perusahaan yang bisa ditahan sebagai jaminan kerja.

Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menegaskan bahwa setiap orang berhak untuk memperoleh, memiliki, dan menggunakan dokumen pribadinya. Penahanan ijazah juga bertentangan dengan prinsip-prinsip dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan.

Bahkan, Kementerian Ketenagakerjaan secara tegas menyatakan bahwa penahanan ijazah oleh perusahaan tidak dibenarkan dalam bentuk apa pun, meskipun disepakati dalam kontrak kerja. Kesepakatan semacam itu dianggap batal demi hukum karena bertentangan dengan hak asasi manusia.

Terkhusus di Jawa Timur sudah ada Peraturan Daerah (Perda) yang secara tegas melarang penahanan ijazah yaitu di Perda Nomor 8 Tahun 2016. Dalam Pasal 42, yang menyatakan bahwa pengusaha tidak diperbolehkan menahan atau menyimpan dokumen asli milik pekerja, termasuk ijazah, sebagai bentuk jaminan. Lalu di Pasal 79 ayat 1 mengatur sanksi bagi pelanggaran, yaitu pidana kurungan paling lama enam bulan atau denda maksimal Rp 50 juta.

Respons Pemerintah: Tegas tapi Penuh Drama

Wakil Wali Kota Surabaya, Armuji, turun langsung melakukan inspeksi ke perusahaan Jan Hwa Diana. Dalam video yang ia unggah ke media sosial, Armuji mengungkap adanya praktik penahanan ijazah di perusahaan tersebut. Ia bahkan melontarkan tudingan bahwa sang pengusaha merupakan “bandar narkoba” — pernyataan yang kini membuatnya dilaporkan balik oleh Jan Hwa Diana atas dugaan pencemaran nama baik dan pelanggaran UU ITE.

Inspeksi serupa juga dilakukan oleh Wakil Menteri Tenaga Kerja, yang merasa kecewa dengan sikap perusahaan yang dinilai tidak kooperatif. Hingga Wakil Menteri Tenaga kerja memerintahkan langsung kepolisian untuk mengusut Jan Hwa Diana. Pemerintah Kota Surabaya pun mendampingi 30 eks-karyawan untuk melaporkan perusahaan ke polisi.

Kesimpulan: Tidak Ada Alasan Sah Menahan Ijazah

Menahan ijazah karyawan, apalagi menjadikannya sebagai jaminan untuk tetap bekerja dalam jangka waktu tertentu, merupakan tindakan ilegal. Pengusaha yang masih melakukan praktik ini dapat dijerat hukum, baik pidana maupun perdata.

Perusahaan seharusnya membangun hubungan kerja berdasarkan kepercayaan dan profesionalisme, bukan dengan menahan dokumen penting karyawan. Sementara itu, karyawan juga berhak untuk melaporkan praktik-praktik seperti ini ke dinas tenaga kerja setempat atau melalui jalur hukum yang berlaku.

Kasus ini menjadi pengingat penting bahwa perlindungan terhadap hak-hak pekerja harus dijunjung tinggi, dan tidak ada seorang pun yang boleh dipaksa bekerja dengan cara-cara yang mengekang hak dasar mereka.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *