Bos BGN Jelaskan Penyebab Keracunan MBG di Bengkulu, Baubau, dan Sejumlah Daerah

Bos BGN Jelaskan Penyebab Keracunan MBG di Bengkulu, Baubau, dan Sejumlah Daerah
Ilustrasi siswa keracunan usai makan program makan bergizi gratis.

Daily Dose Indonesia – Program Makan Bergizi Gratis (MBG) dari pemerintah pusat dalam meningkatkan status gizi anak-anak dan warga rentan kembali mendapat sorotan serius. Beberapa daerah melaporkan insiden keracunan setelah siswa mengonsumsi makanan dari program ini. Kepala Badan Gizi Nasional (BGN), Dadan Hindayana, menjelaskan penyebab keracunan tersebut serta memastikan bahwa target “zero incident” tetap menjadi prioritas agar MBG dapat berjalan aman dan berkontribusi positif.

Menurut Dadan, faktor penyebab keracunan berbeda-beda tergantung lokasi dan kondisi operasional dapur atau pemasok bahan baku. Di Bengkulu, misalnya, keracunan diduga muncul karena dapur penyedia makanan MBG belum terbiasa menangani volume produksi besar. Proses memasak yang semula hanya untuk ratusan orang kini harus melayani ribuan, dan dapur belum dilengkapi SOP (prosedur operasional tetap) yang memadai untuk skala besar.

Bacaan Lainnya

“Satu penyebabnya disebabkan oleh baru beroperasinya SPPG seperti yang di Bengkulu, makanya kami kemudian sarankan untuk SPPG baru mulainya bertahap. Karena ibu-ibu yang biasa masak (buat) empat orang sampai 10 orang itu belum tentu bisa untuk masak langsung (untuk) 1.000 sampai 3.000 (orang),” ujar Dadan, Kamis (18/9/2025) dikutip Liputan6.

Sementara di Baubau, Sulawesi Tenggara, kasus keracunan muncul setelah pemasok bahan baku untuk menu MBG diganti dengan supplier lokal yang belum siap mengikuti standar kualitas makanan yang ditetapkan. Adanya perbedaan kesiapan dalam hal kebersihan bahan, kondisi distribusi, atau penyimpanan dipandang sebagai bagian dari penyebab. Meski begitu, Dadan menyatakan bahwa semua pihak telah dilibatkan dalam pemeriksaan supaya akar permasalahan bisa ditemukan dan diperbaiki segera.

“Yang kejadian di Maluku Barat Daya atau di Baubau itu sudah delapan bulan berjalan, jadi sebenarnya sudah biasa, tapi kemarin kejadian karena mendapat informasi baru ganti supplier. Jadi bahan baku yang biasa dipasok oleh supplier yang rutin, karena ingin meningkatkan kearifan lokal diganti oleh supplier lokal yang mungkin belum siap,” jelas Dadan.

Dadan Hindayana juga menegaskan bahwa, meskipun ada insiden keracunan, pemerintah tetap berkomitmen menjaga kualitas program. “Ya tetap. Harus lah itu harus zero incident. Kita kan ingin membuat anak cerdas, sehat, kuat, ya harus makanannya dikonsumsi dengan baik dan tidak menimbulkan gangguan pencernaan,” tegas Dadan dari sumber yang sama.

Analisis: Kelemahan dalam Rantai Operasional MBG

Berdasarkan laporan, beberapa aspek utama yang perlu diperbaiki:

  1. Skalabilitas dapur – Standar dapur yang dipersiapkan untuk produksi ratusan orang belum tentu cocok ketika jumlah penerima meningkat secara drastis. Proses memasak besar memerlukan tenaga, peralatan, sanitasi, dan sistem distribusi (termasuk penyimpanan dingin) yang memadai.
  2. Kesiapan pemasok lokal – Supplier lokal sering kali tidak memiliki fasilitas yang memenuhi standar keamanan pangan, distribusi pendingin, atau kontrol mutu. Pergantian pemasok tanpa audit dan pelatihan mendalam bisa menimbulkan risiko bocor mutu.
  3. Pengawasan kualitas bahan baku & makanan jadi – Pemeriksaan bau, rasa, kondis penyimpanan dan kebersihan lingkungan memasak belum selalu terstandarisasi secara ketat di lapangan. Inspeksi rutin dan sampling laboratorium perlu diperkuat.
  4. Komunikasi & respon cepat – Ada laporan bahwa ketika siswa mencium bau tidak sedap, guru atau pihak sekolah terlambat menghentikan distribusi. Ini menunjukkan bahwa jalur pelaporan dan respons harus diringkas dan dipercepat.

Saran Perbaikan untuk Menghindari Insiden Serupa ke Depan

Berdasar analisis tersebut dan laporan di daerah, berikut saran konkret agar kasus keracunan MBG bisa dihindari:

  1. Standarisasi SOP nasional untuk semua dapur MBG, termasuk parameter jumlah produksi, sanitasi, penanganan bahan baku, distribusi, dan penyimpanan makanan. Dapur yang belum memenuhi SOP harus ditetapkan sebagai tidak layak operasi hingga diperbaiki.
  2. Audit dan sertifikasi pemasok: Sebelum mengganti pemasok, harus ada audit mutu dan fasilitas, serta sertifikasi keamanan pangan. Pemasok lokal harus mengikuti pelatihan dan penilaian oleh petugas BGN atau lembaga standar pangan.
  3. Pelatihan intensif untuk pengelola dapur & sekolah agar bisa mengenali tanda‐tanda makanan tidak layak seperti bau, tekstur, perubahan warna atau rasa. Harus ada pelatihan rutin dan simulasi.
  4. Sistem monitoring & sampling laboratorium secara berkala — diet pangan MBG harus diuji secara acak oleh laboratorium pemerintah atau swasta yang terakreditasi untuk mendeteksi kontaminasi mikroba atau racun makanan.
  5. Protokol pelaporan darurat di sekolah: jika siswa melaporkan bau atau rasa tidak normal, distribusi makanan harus dihentikan segera. Sekolah harus memiliki petugas yang terlatih untuk mengambil sampel dan melaporkannya ke pihak kesehatan setempat.
  6. Transparansi pelaksanaan: Pemerintah pusat dan daerah harus menyediakan data publik tentang mutu pemasok, audit dapur, hasil sampel laboratorium dan tindakan perbaikan. Publik punya hak tahu bahwa program pro rakyat ini dijalankan dengan aman.
  7. Penguatan regulasi pengadaan bahan baku: regulasi yang mengatur pengadaan bahan pangan MBG harus mewajibkan standar minimal keamanan pangan dan kewajiban distribusi bahan baku dalam kondisi yang terjaga (pendingin, cepat diolah, tidak lama transit yang bisa merusak bahan).

Dampak dan Keprihatinan

Insiden keracunan ini menimbulkan sejumlah dampak langsung, terutama pada kepercayaan publik terhadap program MBG. Orang tua menjadi khawatir mengizinkan anak-anaknya makan dari program jika keamanan dan kualitas bahan tidak jelas. Siswa yang mengalami keracunan juga harus dirawat, yang menimbulkan beban tambahan bagi fasilitas kesehatan daerah.

Selain itu, insiden-insiden tersebut dapat mengganggu kelangsungan program, jika masyarakat jadi skeptis dan pemerintah daerah harus mempertimbangkan ulang mekanisme pelaksanaan. Bila tidak diatasi dengan cepat, kasus seperti di Bengkulu dan Baubau bisa menyebar ke daerah lain dengan efek domino, terutama di wilayah terpencil yang infrastrukturnya masih kurang memadai.

Dengan memperkuat aspek operasional dan pengawasan seperti di atas, program MBG bisa lebih aman dan efektif. Kasus di Bengkulu dan Baubau bisa dijadikan momentum untuk memperbaiki sistem, bukan hanya menjadi obrolan krusial sesaat. Jika implementasi disertai tanggung jawab, pelatihan, dan audit kualitas, target “zero incident” bukan hanya slogan, melainkan kenyataan yang memberikan manfaat maksimal dan aman bagi anak-anak dan masyarakat.

 

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *