Napak Tilas Eyang Jugo di Blitar Tiap Malam 1 Suro, Guntur Wahono: Tradisi Menarik, Gen Z Banyak Terlibat

Napak Tilas Eyang Jugo di Blitar Tiap Malam 1 Suro, Guntur Wahono: Tradisi Menarik, Gen Z Banyak Terlibat
Guntur Wahono (blangkon merah) saat mengikuti napak tilas eyang Jugo tahun di Malam 1 Suro, Kamis (26/6/2025).

Daily Dose Indonesia Tradisi sakral Napak Tilas Eyang Jugo kembali digelar pada malam 1 Suro atau 1 Muharram 1447 Hijriah, Kamis (26/6/2025), di Desa Jugo, Kecamatan Kesamben, Kabupaten Blitar, Jawa Timur. Kegiatan spiritual dan budaya ini bukan sekadar ritual malam tahun baru Islam, memanjatkan doa keselamatan, tetapi juga upaya mengenang jejak perjuangan tokoh sakti Eyang Jugo yang melegenda di Blitar.

Ratusan warga memulai perjalanan spiritual dari Padepokan Eyang Jugo menuju Gunung Kawi, mengikuti rute yang dipercaya sebagai jalur yang dahulu dilalui sang eyang. Ribuan peserta, termasuk generasi muda, ikut menyemarakkan napak tilas yang sarat makna spiritual dan sosial tersebut.

Bacaan Lainnya

Pemberangkatan napak tilas tahun ini dipimpin oleh Anggota DPRD Jawa Timur dari Fraksi PDI Perjuangan, Guntur Wahono. Politisi yang juga sebagai Sekretaris Badan Kebudayaan Nasional (BKN) PDI Perjuangan Jawa Timur ini menuturkan bahwa napak tilas ini menjadi agenda rutin yang selalu ditunggu masyarakat.

“Yang kemarin itu kan acara napak tilas yang sudah menjadi tradisi setiap menjelang Satu Muharam atau Bulan Suro, selalu dilakukan. Eyang Jugo dari pesanggrahan Jugo ke Gunung Kawi. Tradisi ini juga dihadiri dari Dinas Pariwisata dan Kebudayaan, Pak Camat, Kapolsek, dan tokoh-tokoh budaya,” ujar Guntur.

Guntur menambahkan, kegiatan ini selalu menarik partisipasi besar masyarakat. Di napak tilas tahun 2025 pun pesertanya mencapai seribu lebih. Maka itu Guntur mengaku selalu turut serta dalam pemberangkatan kirab dari tahun ke tahun sebagai bentuk dukungannya pada pelestarian tradisi budaya ini.

“Nah, yang menarik di dalam perjalanan rute dari Sanggrahan Jugo, menuju Gunung Kawi, di sepanjang rute perjalanan napak tilas itu banyak masyarakat yang sedekah memberikan minum, memberikan gorengan, makanan khas mereka, hasil bumi, hasil bumi masyarakat,” cerita Guntur.

“Dan masyarakat peserta dengan sukacita ikut menikmati minuman makanan yang disediakan oleh masyarakat di perjalanan. Maka itu pesertanya kurang lebih seribu orang. Ada yang ikut dari awal start, ada yang gabung di tengah jalan,” sambungnya.

Yang paling membanggakan, menurut Guntur, adalah keterlibatan anak muda. “Sekitar 65-70% peserta adalah generasi muda. Adik-adik SLTP SLTA ini kan termasuk Gen Z ya, bahkan komunitas dan organisasi masyarakat juga terlibat,” ujarnya.

Selain menjadi refleksi spiritual, napak tilas ini juga memperkuat identitas budaya. Para peserta mengenakan pakaian tradisional seperti udeng, belangkon, dan baju kejawen. Tak hanya sekadar jalan kaki, napak tilas ini menjadi bentuk penghormatan terhadap sosok Eyang Jugo dan ajaran hidupnya yang sederhana, tangguh, dan penuh keteladanan.

“Jadi ini kebudayaan yang bagus. Karena mereka juga menggunakan pakaian tradisi ketika jadi peserta napak tilas pakai udeng, pakai belangkon, pakai baju kejawen. Dengan harapan mendapat keberkahaan dari beliau, dijauhkan marabahaya, dimudahkan semua urusan dan mendapat rezeki yang melimpah,” tutur Guntur yang merupakan legislator Jatim yang mewakili Dapil Blitar Raya dan Tulungagung tersebut.

Guntur Wahono berangkatkan napak tilas eyang jugo 2025
Guntur Wahono saat memberangkatkan pawai napak tilas eyang Jugo tahun 2025.

Siapakah Eyang Jugo?

Eyang Jugo, atau yang memiliki nama asli Eyang Dzakariya, merupakan tokoh sakti dan sesepuh Desa Jugo yang disegani. Ia adalah salah satu prajurit pelarian dari pasukan Pangeran Diponegoro yang menyelamatkan diri dari kejaran penjajah Belanda hingga tiba di wilayah Blitar Timur.

Perjalanan Eyang Jugo tidak mudah—penuh rintangan dan perjuangan. Ia sempat bersembunyi di Blitar Kota bersama Eyang Djoyodigdo untuk menimba ilmu spiritual dan pertanian. Dalam pelariannya menuju perbatasan Blitar-Malang, Eyang Jugo akhirnya menetap di Desa Jugo. Konon, ia pernah tertidur di atas pohon padi—hal yang dianggap mustahil namun dipercaya sebagai bukti kesaktiannya.

Masyarakat kemudian menobatkannya sebagai pemimpin spiritual dan desa pun dinamakan Jugo, dari kata “sadjuego” (sendirian). Eyang Jugo mendirikan padepokan sebagai pusat pembelajaran spiritual dan agraris, mengajarkan ilmu pertanian dan supranatural tanpa memungut biaya.

Hingga kini, pusaka peninggalannya seperti tombak, cangkul, capil, dan keris masih dijaga dan dikirab setiap tahun. Tradisi napak tilas dan kirab pusaka menjadi bentuk penghormatan atas jasanya dan sarana memanjatkan doa agar warga Desa Jugo tetap diberi keselamatan dan kemakmuran setiap malam 1 Suro atau 1 Muharram.

 

Referensi Sosok Eyang Jugo

Lita Kusuma Ningtyas. 2024. Tradisi Kirab Pusaka Eyang Djoego Di Desa Jugo Kecamatan Kesamben Kabupaten Blitar. Jurnal Ilmu Pendidikan, Bahasa, Sastra dan Budaya (MORFOLOGI)
Vol. 2 No. 2 April 2024

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *