Hiu di Piring MBG, Anak SD Keracunan – Apa Menu Selanjutnya, Komodo?

Hiu di Piring MBG, Anak SD Keracunan – Apa Menu Selanjutnya, Komodo?
Ilustrasi siswa makan bergizi gratis lauk ikan hiu yang disebut inovasi menu di Program MBG.

Daily Dose Indonesia – Bayangkan jika suatu hari anak-anak sekolah disuguhi menu eksotik: ikan hiu goreng di program Makan Bergizi Gratis (MBG). Bukannya sehat, malah “selamat datang di ruang IGD”. Itulah yang terjadi di SDN 12 Benua Kayong, Ketapang, Kalimantan Barat, ketika 25 orang—24 siswa dan seorang guru—terpaksa dirawat karena keracunan setelah menyantap menu MBG.

Menu yang tak biasa itu disorot tajam oleh Kepala Regional MBG Kalbar, Agus Kurniawi, sebagai keteledoran fatal. Menurut Agus, ikan hiu bukan makanan lazim yang dikonsumsi anak-anak. Dia mengeluhkan bahwa “menu ikan hiu” itu direkomendasikan oleh ahli gizi dapur SPPG tanpa pertimbangan aman.

Bacaan Lainnya

“Soal menu ikan hiu, itu murni kesalahan dan keteledoran dari SPPG kami. Mereka tidak teliti memilih menu. Ikan hiu itu dibeli dari TPI Rangga Sentap, produk lokal,” ujar Kepala Regional MBG Kalbar, Agus Kurniawi, dilansir dari detik Rabu (24/9/2025).

Agus menyayangkan kejadian tersebut, yang harusnya makanan disesuaikan dengan kesukaan siswa pada umumnya. Bukannya memilih menu yang tak lazim seperti ikan hiu yang bisa perpotensi ada kandungan logam berat seperti merkuri.

Ia juga menyebut menu ikan hiu merupakan rekomendasi ahli gizi SPPG, yang mana merupakan rekrutan lokal sarjana gizi. “Saya sempat marah ke ahli gizi. Dia sudah meminta maaf dan mengakui kalau hal tersebut murni keteledoran,” tegasnya.

Wah, kalau eksperimen kuliner ekstrem ini diteruskan, jangan-jangan besok menu MBG diganti jadi daging komodo bakar buat sensasi “gizi ekstrem”? Tapi tentu saja ini bukan lelucon: keracunan hiu tersebut menunjukkan bahwa pemilihan menu dalam MBG harus berdasarkan makanan yang sudah dikenal luas, aman, bergizi, dan diterima oleh selera anak sekolah.

Menu Eksotik vs Menu Sehari-hari: Mana yang Pantas?

Hiu bukanlah ikan biasa yang dimakan di seluruh Indonesia. Banyak daerah tidak memiliki tradisi mengonsumsi hiu dalam diet harian. Selain itu, ikan predator besar seperti hiu bisa mengandung merkuri tinggi akibat bioakumulasi, yang berpotensi berbahaya terutama untuk anak-anak.

Program MBG seharusnya memakai bahan pangan yang sudah terbukti aman, mudah diolah, mudah diawasi, dan familiar di lidah anak. Contoh yang lebih logis: ikan nila, salmon lokal, ayam kampung, tahu-tempe, sayuran lokal, atau lauk nabati berkualitas. Menu-menu seperti itu punya keunggulan: ketersediaan tinggi, harga stabil, dan lebih mudah standar pengolahannya.

“Menu Eksotik sampai Pemeriksaan Forensik”

Bayangkan skenario ini, konon dapur MBG di Ketapang itu seperti sedang ikut lomba MasterChef. Dalam rapat dadakan, panitia mencari cara agar menu makan siang tidak itu-itu saja. “Anak-anak pasti bosan lauk telur. Kita perlu yang eksotik supaya viral!” kata seseorang dengan penuh semangat.

Ahli gizi yang baru lulus, belum pernah ikut pelatihan resmi, diminta berikan ide. Dengan polos ia berujar, “Bagaimana kalau kita pakai ikan hiu, kandungan proteinnya tinggi!” Semua mengangguk, seolah menemukan harta karun.

Keesokan harinya, nasi kotak datang dengan lauk hiu. Anak-anak yang tak tahu apa-apa menyambut dengan senyum, merasa seperti makan makanan mewah. Beberapa jam kemudian, senyum berubah jadi wajah meringis — perut mulai protes.

Kepala sekolah kebingungan: “Ini lauk kok terasa seperti oleh-oleh wisata bahari, tapi kenapa anak-anak malah mules?” Satgas kesehatan pun datang mengambil sampel makanan, sambil bergurau: “Semoga besok menunya bukan daging komodo, kami belum siap buka unit forensik.”

Kisah lauk ikan hiu ini jadi satire tentang bagaimana niat baik menghadirkan inovasi menu malah berubah seperti eksperimen dadakan. Alih-alih memperkenalkan keanekaragaman kuliner, yang terjadi justru drama darurat kesehatan di sekolah.

Pelajaran dari Kasus Ketapang dan Rekomendasi Nyata

Kasus keracunan MBG di Ketapang harus menjadi alarm nasional. Beberapa pelajaran penting:

  1. Standar menu nasional MBG wajib ditetapkan dan hanya boleh memilih bahan pangan aman, familiar, dan mudah dikontrol.

  2. Pelatihan ahli gizi dan dapur SPPG sangat krusial, agar tidak ada rekomendasi “hiasan menu” tak wajar.

  3. Pengawasan laboratorium acak harus rutin untuk deteksi kontaminan atau merkuri.

  4. Menu lokal + diversifikasi lebih logis: manfaat gizi lokal lebih tinggi bila pengolahan tepat.

  5. Keterlibatan orang tua dan sekolah dalam memberi masukan menu agar anak mau makan dan tidak meninggalkan makanan.

Jadi, kalau pemerintah dan penyelenggara MBG tidak hati-hati, suatu hari bisa muncul judul: “Ikan Komodo Jadi Menu MBG Pendamping Mi Instan?” Semoga saja tidak sampai sejauh itu. Tetapi kasus hiu ini sudah cukup menjadi peringatan keras: program gizi nasional harus berjalan dengan pilar keamanan pangan, bukan eksperimen ekstrem.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *