Beli Mobil Baru di Indonesia, 40% Harganya Masuk Kantong Pemerintah

Beli Mobil Baru di Indonesia, 40% Harganya Masuk Kantong Pemerintah
Ilustrasi sales menjelaskan pajak dari pembelian mobil baru di sebuah dealer.

Daily Dose Indonesia – Membeli mobil baru di Indonesia ternyata bukan hanya soal memilih merek dan tipe kendaraan, tapi juga soal berapa besar dana yang sebenarnya mengalir ke kas negara. Berdasarkan data terbaru Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), sekitar 40 persen dari harga mobil baru di Indonesia adalah komponen pajak yang disetorkan ke pemerintah pusat dan daerah.

Fakta ini menjelaskan mengapa harga mobil di Indonesia cenderung lebih mahal dibandingkan dengan beberapa negara tetangga di Asia Tenggara. Ketua I Gaikindo, Jongkie D. Sugiarto, menilai struktur pajak yang berat membuat mobil baru menjadi kurang terjangkau bagi masyarakat, terutama bagi kelompok berpenghasilan menengah ke bawah.

Bacaan Lainnya

“Kalau mobil harga Rp100 juta, berapa yang diterima APM, berapa yang masuk ke pemerintah pusat dan daerah. Itu sekitar 40 persen ke pusat dan daerah,” ujar Jongkie, dikutip dari CNN 1 Oktober 2026.

Jongkie pun merinci klaim 40 persen harga pembelian mobil baru yang masuk kantong pemerintah. Yaitu 27 persen masuk kantong pemerintah pusat berupa Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12 persen dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) sebesar 15 persen.

“Itu saja sudah 27 persen, belum lagi ada PPh yang masuk ke kas pemerintah pusat,” ucapnya.

Lalu pajak yang masuk ke pemerintah daerah dalam hal ini pemerintah provinsi yang mencapai 15 persen, yaitu Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB) 12,5 persen dan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) 2,5 persen. Sehingga dari total pajak yang masuk pemerintah pusat dan daerah dari pembelian mobil baru oleh masyarakat bisa mencapai 42 persen yang mungkin oleh Gaikindo di klaim 40 persen itu adalah estimasi rata-rata. “Kan kalau itu digabungkan,” sambung Jongkie.

Pajak Menumpuk, Harga Mobil Melonjak

Dalam struktur harga mobil baru di Indonesia, setidaknya terdapat empat jenis pajak besar yang dibebankan kepada pembeli. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12 persen, Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) minimal 15 persen, Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB) sebesar 12,5 persen, serta Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) sebesar 2,5 persen.

Jika digabung, totalnya mencapai sekitar 40 persen dari harga jual mobil baru, belum termasuk pungutan-pungutan administratif lainnya. Artinya, dari setiap mobil senilai Rp300 juta, sekitar Rp120 juta langsung masuk ke kas pemerintah pusat dan daerah.

Gaikindo menilai, beban pajak setinggi ini menjadi faktor utama mengapa pasar otomotif domestik sulit tumbuh cepat meski Indonesia memiliki populasi besar dan tingkat urbanisasi yang tinggi. Bagi masyarakat, harga mobil yang terlalu mahal membuat kepemilikan kendaraan pribadi masih dianggap sebagai barang mewah, bukan kebutuhan transportasi yang realistis.

Pemerintah Kaya dari Pajak Otomotif, Tapi Industri Tertahan

Dengan skema pajak yang begitu tinggi, seharusnya pemerintah sudah sangat diuntungkan dari industri otomotif. Dari PPN, PPnBM, hingga pajak kendaraan tahunan, pemasukan yang diterima negara mencapai triliunan rupiah setiap tahun.

Namun, di sisi lain, industri otomotif nasional justru belum bisa berkembang optimal. Produsen otomotif menanggung tekanan ganda: menyesuaikan harga agar tetap kompetitif, sekaligus menghadapi permintaan pasar yang stagnan akibat daya beli masyarakat yang menurun.

Situasi ini menciptakan paradoks ekonomi: negara kaya dari pajak otomotif, tetapi industri kendaraan berjalan terseok-seok. Dalam jangka panjang, kondisi semacam ini justru bisa menghambat penyerapan tenaga kerja dan investasi, terutama dari produsen mobil yang mempertimbangkan untuk memindahkan basis produksi ke negara dengan kebijakan fiskal lebih ringan seperti Thailand atau Vietnam.

Saatnya Evaluasi Pajak, Beda Perlakuan Mobil Mewah dan Mobil Rakyat

Para pelaku industri menilai pemerintah perlu segera meninjau ulang struktur perpajakan kendaraan bermotor. Pajak tinggi bisa dimaklumi untuk kendaraan mewah—mobil dengan harga miliaran rupiah, mesin besar, dan tingkat konsumsi bahan bakar tinggi. Namun, mobil kecil dan ekonomis seharusnya mendapatkan perlakuan berbeda, agar masyarakat menengah dan bawah bisa memiliki akses transportasi yang layak.

Penurunan tarif pajak untuk mobil murah, misalnya, dapat menjadi langkah strategis untuk mendorong industri dalam negeri sekaligus memperluas basis pajak di masa depan. Saat pasar otomotif tumbuh, penerimaan negara dari PPN, PKB, dan bahan bakar akan meningkat secara alami.

Selain itu, kebijakan yang lebih proporsional juga akan mendukung target pemerintah dalam mengembangkan kendaraan listrik. Tanpa penyesuaian pajak, transisi ke mobil listrik akan sulit terealisasi karena perbedaan harga dengan kendaraan konvensional masih terlalu lebar.

Pajak Tinggi Harus Disertai Kebijakan Bijak

Fakta bahwa 40 persen harga mobil baru masuk ke kantong pemerintah seharusnya menjadi refleksi penting dalam kebijakan fiskal Indonesia. Pajak tinggi memang diperlukan untuk mendukung pembangunan, namun tanpa keseimbangan dan arah kebijakan yang tepat, dampaknya bisa kontraproduktif terhadap pertumbuhan sektor riil.

Gaikindo menegaskan, pemerintah perlu mengharmonisasi kebijakan fiskal dengan kebutuhan industri agar pajak tidak menjadi penghambat. Penyesuaian struktur pajak tidak hanya akan membuat mobil baru lebih terjangkau, tapi juga mampu mendorong investasi, memperkuat rantai pasok, dan membuka lapangan kerja baru di sektor otomotif.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *