Data BPS: 63 Anggota DPR RI Hanya Lulusan SMA dan 211 Tidak Jelas, Pendidikan Belum Dipandang Penting Negara

Data BPS: 63 Anggota DPR Hanya Lulusan SMA dan 211 Tidak Jelas, Pendidikan Belum Dipandang Penting Negara
Ilustrasi seorang anak SD bersandiwara seolah menjadi wakil rakyat DPR RI.

Daily Dose Indonesia – Data terbaru Badan Pusat Statistik (BPS) tentang latar belakang pendidikan anggota DPR RI periode 2024–2029 menimbulkan perdebatan serius. Dari 580 anggota DPR, sebanyak 63 orang hanya lulusan SMA, sementara 211 orang tidak mencantumkan pendidikan terakhirnya. Fakta ini memperlihatkan bahwa pendidikan tampaknya belum dianggap sebagai aspek penting dalam proses rekrutmen politik dan representasi rakyat di parlemen.

Dalam data tersebut dari sisi pendidikan anggota DPR RI, lulusan strata satu (S1) menjadi kelompok terbanyak dengan 155 orang. Selanjutnya, lulusan strata dua (S2) tercatat 119 orang, dan lulusan strata tiga (S3) berjumlah 29 orang. Masih ada 63 anggota DPR yang berlatar belakang pendidikan SMA serta hanya 3 orang lulusan diploma tiga (D3). Fakta ini menunjukkan keragaman latar pendidikan di parlemen meskipun tidak merata. Selain itu, sebanyak 211 anggota DPR atau sekitar 36,38 persen tidak mencantumkan informasi pendidikan terakhir mereka.

Bacaan Lainnya

Pentingnya Pendidikan dalam Pekerjaan

Pendidikan tidak sekadar gelar atau formalitas administratif. Ia merupakan fondasi yang membekali seseorang dengan kemampuan berpikir kritis, keterampilan problem solving, hingga kapasitas memahami persoalan secara komprehensif. Dalam konteks pekerjaan apa pun, pendidikan memberikan struktur berpikir sistematis yang dibutuhkan untuk menghadapi persoalan nyata di lapangan.

Bagi pekerja teknis, pendidikan berfungsi untuk membekali keterampilan praktis. Sementara bagi pekerja manajerial dan strategis, pendidikan menjadi instrumen untuk mengasah kemampuan analisis. Semakin tinggi tingkat tanggung jawab seseorang, semakin besar pula kebutuhan akan kapasitas intelektual yang lahir dari proses pendidikan.

Pendidikan Tinggi dan Kapasitas Kepemimpinan

Posisi anggota DPR tidak sama dengan pekerjaan rutin yang cukup dijalankan berdasarkan pengalaman. Mereka adalah pembuat kebijakan, penentu arah pembangunan, sekaligus pengawas jalannya pemerintahan. Kapasitas seperti ini menuntut lebih dari sekadar pengalaman politik. Dibutuhkan kemampuan berpikir tingkat tinggi atau higher order thinking skills (HOTS) yang tidak mungkin muncul begitu saja tanpa fondasi akademik yang kuat.

Dalam kerangka taksonomi Bloom, kemampuan berpikir tingkat tinggi—seperti menganalisis, mengevaluasi, dan menciptakan—mulai diasah secara sistematis sejak jenjang pendidikan strata satu (S1). Proses ini melatih individu untuk tidak hanya menghafal dan memahami, tetapi juga membedah masalah dari berbagai sudut, menimbang dampak kebijakan, dan merumuskan solusi yang berkelanjutan.

Jika 63 anggota DPR hanya berbekal pendidikan SMA dan lebih dari dua ratus anggota tidak jelas pendidikannya, maka publik berhak mempertanyakan sejauh mana kapasitas analisis parlemen dapat diandalkan.

Pendidikan sebagai Pilar Representasi

Parlemen adalah institusi yang mewakili rakyat. Dengan kualitas pendidikan anggota yang rendah atau tidak transparan, maka kredibilitas representasi ikut dipertaruhkan. Bagaimana mungkin DPR dapat mengawal isu-isu kompleks seperti reformasi fiskal, transisi energi, atau transformasi digital jika sebagian besar anggotanya tidak memiliki latar belakang pendidikan yang memadai?

Negara modern menuntut legislatif yang bukan hanya responsif terhadap aspirasi masyarakat, tetapi juga memiliki kemampuan teknis dan intelektual dalam menyusun kebijakan. Di sinilah pentingnya pendidikan sebagai pilar utama dalam membangun kredibilitas lembaga legislatif.

Reformasi Kepemiluan Perlu Dilakukan

Melihat data yang ada, ada beberapa langkah yang perlu dipertimbangkan. Pertama, KPU sebaiknya mewajibkan pencantuman pendidikan terakhir sebagai syarat administratif yang transparan dan terverifikasi. Kedua, partai politik perlu meningkatkan standar rekrutmen calon legislator, dengan mempertimbangkan aspek akademik sebagai salah satu tolok ukur penting. Ketiga, masyarakat harus lebih kritis dalam memilih wakil rakyat, bukan hanya berdasarkan popularitas atau kedekatan politik, melainkan juga kapasitas intelektual dan pendidikan yang jelas.

Jika langkah-langkah tersebut dijalankan, kualitas representasi di parlemen bisa meningkat. Pendidikan tidak lagi dipandang sebagai pelengkap, melainkan sebagai fondasi yang memastikan wakil rakyat memiliki kapasitas analisis dan kemampuan berpikir tingkat tinggi yang sesuai dengan tanggung jawabnya.

Source

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *