RSUD Mardi Waluyo: Rumah Sakit atau Rumah Sakit-Sakitan?

RSUD Mardi Waluyo: Rumah Sakit atau Rumah Sakit-Sakitan?
Ketua Komisi I DPRD Kota Blitar, Agus Zunaidi, melihat laporan RSUD Mardi Waluyo dalam sidak, Kamis (22/5/2025)

DailyDoseIndonesia.com, Blitar — Di tengah maraknya promosi “reformasi pelayanan publik”, RSUD Mardi Waluyo Kota Blitar justru memberikan contoh nyata reformasi, menuju keterpurukan. Alih-alih menjadi benteng terakhir kesehatan masyarakat, rumah sakit pelat merah ini kini lebih mirip pasien kronis yang menunggu tindakan intensif.

Kondisi RSUD Mardi Waluyo disebut oleh Komisi I DPRD Kota Blitar sebagai “tidak baik-baik saja”. Dalam sidak yang dilakukan Kamis (22/5/2025), para legislator dibuat prihatin: pasien sepi, pendapatan turun, dan pegawai mulai menjerit karena hak mereka tertunggak hingga Rp12 miliar. Kalau bukan rumah sakit, ini sudah masuk kategori pasien gawat darurat.

Bacaan Lainnya

“Pak Wali Kota harus turun langsung melihat situasi ini. Jangan sampai rumah sakit sebagai layanan vital masyarakat ini terus terpuruk,” tegas Ketua Komisi I, Agus Zunaedi, Jumat (23/5/2025).

Tak hanya pasien yang hilang kepercayaan, kondisi manajemen rumah sakit juga dinilai tidak sehat. Direktur RSUD akan segera pensiun, dan belum jelas siapa yang akan menakhodai kapal yang sedang karam ini. Transisi yang dikelola asal-asalan hanya akan mempercepat tenggelamnya pelayanan.

Lebih miris lagi, saat diminta klarifikasi, Direktur RSUD dr M Muchlis justru blak-blakan soal kondisi keuangan.

“Intinya, pendapatan kami kalah dengan pengeluaran. Bisa dibilang, kami kalah secara bisnis. Sedikit demi sedikit defisit,” ujarnya.

Kalau rumah sakit sudah kalah secara bisnis dan pelayanan menurun, apa lagi yang bisa diandalkan? Brosur? Muchlis juga mengakui bahwa pendapatan yang bergantung pada klaim BPJS kini tak cukup menutup biaya operasional, dan rumah sakit terancam tekor.

“Kalau begini terus, bukan tidak mungkin kami akan terlilit utang. Pendapatan tetap, biaya operasional naik, akhirnya tekor. Bisa-bisa kolaps,” imbuhnya.

Tak hanya faktor internal seperti pelayanan yang “kurang humanis”, menurut Muchlis, faktor eksternal pun ikut berperan. Sayangnya, faktor eksternal tersebut tidak dijelaskan lebih lanjut—mungkin cuaca, mungkin nasib.

Sementara masyarakat berharap pelayanan lebih baik, pegawai RSUD justru harus berjuang dua kali: melayani pasien sambil menunggu hak yang tak kunjung cair. Kalau ini dibiarkan, rumah sakit bukan hanya kehilangan pasien, tapi juga kehilangan pegawai karena pindah ke sektor lain yang lebih menjanjikan—misalnya, jualan online.

“Kami ingin hadir sebagai rumah sakit yang ramah, profesional, dan melayani masyarakat dengan humanis. Ini proses, dan kami sedang berbenah,” pungkas Muchlis.

Namun jika proses pembenahan sama lambatnya dengan pembayaran tunggakan, jangan salahkan warga Kota Blitar dan sekitarnya yang menjadi target pasar RSUD Mardi Waluyo ini berpindah ke layanan lain.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *