Daily Dose Indonesia – Pemerintah kembali menyiapkan langkah baru untuk memperkuat pengawasan Program Makan Bergizi Gratis (MBG). Setelah menetapkan guru penanggung jawab yang memperoleh insentif Rp100 ribu setiap 10 hari, kini giliran siswa yang diajak ikut mengawasi kualitas makanan dengan cara lebih edukatif: memasukkan materi gizi dan keamanan pangan ke dalam kurikulum wajib sekolah.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menjelaskan, usulan kurikulum ini ditujukan agar anak-anak memiliki pengetahuan dasar tentang gizi dan bisa mengenali makanan yang tidak layak konsumsi. Dengan demikian, pengawasan terhadap makanan MBG tidak hanya bertumpu pada guru atau petugas dapur, tetapi juga melibatkan siswa sebagai pihak yang langsung mengonsumsi makanan tersebut.
“Nah saya udah ngomong sama Menteri Dikdasmen kalau bisa yang mengenai keamanan pangan dan gizi dimasukin bukan hanya Merdeka Belajar, itu kan bisa milih, ini dimasukin sebagai wajib,” tambahnya,” ujar Budi seperti dikutip dari Kumparan.
Budi menyebut materi pembelajaran sudah disiapkan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikdasmen). Materi tersebut mencakup pengenalan gizi seimbang, cara membaca tanda-tanda kerusakan makanan, hingga edukasi kebersihan peralatan makan.
Cegah Kasus Keracunan Berulang
Langkah ini diambil setelah sejumlah kasus keracunan MBG yang sempat mencuat di berbagai daerah, mulai dari Bangkalan hingga Ketapang, Kalimantan Barat. Beberapa kasus dipicu oleh lemahnya pengawasan dapur penyedia makanan dan minimnya keterampilan petugas gizi.
Dengan adanya kurikulum gizi di sekolah, pemerintah berharap siswa dapat menjadi “mata tambahan” dalam memantau kelayakan makanan. Kehadiran siswa sebagai pengawas diharapkan bisa mempercepat respons saat muncul tanda-tanda makanan basi atau tidak higienis, sehingga kasus keracunan bisa dicegah sejak dini.
Siswa Diberdayakan, Guru Tidak Lagi Sendiri
Sebelumnya, pengawasan MBG di tingkat sekolah bertumpu pada guru penanggung jawab yang ditunjuk dan mendapat insentif khusus dari pemerintah. Namun, evaluasi menunjukkan bahwa guru sering kewalahan karena harus membagi perhatian dengan tugas mengajar.
“Supaya nanti anak-anak juga tahu. Gak usah diajarin gurunya. ‘Pak ini sudah gak sehat nih, jadi saya gak makan’ dan melaporkannya. Sehingga fungsi kontrolnya lebih baik lagi,” ucap Budi.
Selain menambah pengawasan, langkah ini juga berpotensi membentuk budaya sadar gizi sejak dini. Anak-anak diharapkan dapat lebih memahami pentingnya pola makan sehat dan kebersihan makanan sebagai bagian dari gaya hidup, bukan hanya untuk program MBG.
Tantangan Implementasi
Meski dianggap inovatif, wacana memasukkan gizi ke kurikulum sekolah bukan tanpa tantangan. Pertama, dibutuhkan pelatihan guru dan tenaga kependidikan agar mampu mengajarkan materi dengan cara yang menarik dan mudah dipahami siswa. Kedua, perlu disiapkan perangkat ajar yang sesuai dengan usia dan jenjang pendidikan.
Pemerintah juga perlu memastikan kurikulum ini tidak menambah beban akademik berlebihan bagi siswa. Pendekatan yang digunakan harus bersifat aplikatif dan menyenangkan, seperti melalui praktik langsung mengenali makanan yang baik atau buruk, lomba poster tentang gizi, hingga simulasi pemeriksaan makanan.
Langkah Lanjutan Pemerintah
Kementerian Kesehatan menegaskan bahwa kurikulum gizi hanya salah satu bagian dari upaya perbaikan MBG secara menyeluruh. Pemerintah tetap menargetkan peningkatan kapasitas tenaga gizi di dapur MBG, pengawasan distribusi makanan, hingga digitalisasi rantai pasok agar lebih transparan.
Selain itu, penguatan regulasi akan diterapkan pada penyedia jasa katering MBG agar memenuhi standar keamanan pangan, termasuk uji sampel makanan secara rutin. Pemerintah daerah juga diimbau membentuk tim monitoring di lapangan yang bekerja sama dengan sekolah dan puskesmas setempat.
Analisis: Edukasi Gizi Sebagai Investasi Jangka Panjang
Kebijakan melibatkan siswa dalam pengawasan MBG dinilai sebagai langkah preventif dan edukatif. Tidak hanya membantu mencegah keracunan, pendidikan gizi sejak dini akan memberi manfaat jangka panjang bagi kualitas sumber daya manusia Indonesia.
Dengan bekal pengetahuan gizi, generasi muda diharapkan lebih kritis terhadap makanan yang dikonsumsi, menghindari pola makan tidak sehat, dan mampu menerapkan prinsip keamanan pangan di rumah maupun di lingkungan sekolah.
Namun terpenting dari itu proses penyediaan MBG harusnya menjadi fokus utama. Dengan anggaran yang luar biasa besar harusnya makanan harus berkualitas baik, dimasak dengan tata cara yang baik agar tidak terjadi keracunan.
Sedangnya usaha memasukkan kurikulum harusnya hanya pelengkap saja sebagai usaha preventif yang membekali siswa tentang pengetahuan gizi yang lebih bermanfaat untuk jangka panjang. Jikalau siswa ke depannya memahami gizi tapi makanan MBG berkualitas buruk, maka usaha yang dilakukan hanya tak lebih sebagai pemborosan uang rakyat.