Daily Dose Indonesia – Bacharuddin Jusuf Habibie, atau yang akrab dikenal sebagai BJ Habibie, bukanlah sosok politisi biasa. Di balik pencapaiannya sebagai Wakil Presiden dan kemudian Presiden Republik Indonesia ke-3, Habibie menyimpan warisan intelektual yang luar biasa. Ia adalah ilmuwan jenius yang memberikan kontribusi monumental dalam dunia dirgantara internasional. Penemuannya dalam teori crack progression on random menjadikannya tidak hanya dikenang dalam ranah politik, tetapi juga sebagai salah satu pakar teknologi penerbangan paling berpengaruh di abad ke-20.
Dari Parepare ke Aachen: Awal Perjalanan Seorang Jenius
Habibie lahir di Parepare, Sulawesi Selatan, pada 25 Juni 1936. Selepas menempuh pendidikan dasar dan menengah di Indonesia, ia sempat menjadi mahasiswa Institut Teknologi Bandung (ITB) selama setahun sebelum menerima beasiswa dari pemerintah untuk melanjutkan studi di Jerman. Pada tahun 1956, ia resmi menjadi mahasiswa di Technische Hochschule Die Facultet Fuer Maschinenwesen, Aachen, jurusan konstruksi pesawat terbang.
Di sinilah fondasi intelektual Habibie mulai terbangun. Ia menyelesaikan studinya dengan predikat sangat baik, kemudian melanjutkan ke jenjang doktoral, sembari menjadi asisten riset di Institut Konstruksi Ringan kampusnya. Kehausan akan ilmu serta keuletannya menjadikannya sosok yang disegani di antara para akademisi Jerman.
Teori Retakan atau Crack Progression yang Mengubah Dunia Penerbangan
Tahun 1960-an adalah masa penuh tantangan bagi industri penerbangan. Musibah kecelakaan udara sering terjadi akibat kelelahan logam (metal fatigue) pada sambungan-sambungan penting di tubuh pesawat, seperti antara sayap dan badan, atau antara badan dan roda pendaratan. Pada masa itu, belum tersedia alat pemindai atau sistem monitoring secanggih sekarang, sehingga banyak keretakan kecil luput dari pengamatan.
BJ Habibie hadir dengan solusi revolusioner: crack progression theory—sebuah pendekatan ilmiah untuk menganalisis dan memprediksi bagaimana sebuah retakan kecil (berukuran hingga 0,005 mm) akan berkembang di dalam struktur pesawat. Teori ini tidak hanya membantu mendeteksi risiko kerusakan dini, tetapi juga memungkinkan desainer pesawat untuk mencegahnya sejak tahap perancangan.
Dengan teorinya yang kini dikenal sebagai Faktor Habibie, struktur pesawat bisa dibuat lebih ringan tanpa mengurangi keamanan. Komponen baja yang berat digantikan dengan paduan aluminium yang lebih ringan dan tahan tekanan. Hasilnya, bobot pesawat tanpa penumpang dan bahan bakar (operating empty weight) bisa dikurangi hingga 10 persen—sebuah lompatan besar dalam efisiensi penerbangan modern.
Selain itu, Faktor Habibie juga mendukung kemajuan teknologi penyambungan antara badan pesawat dan sayap, serta antara badan dan roda pendaratan, menjadikannya lebih kokoh saat mengalami tekanan hebat saat lepas landas maupun mendarat.
Karier Cemerlang di Industri Dirgantara Jerman
Habibie memulai karier profesionalnya di HFB (Hamburger Flugzeugbau), salah satu perusahaan dirgantara terkemuka di Jerman. Di sini ia diberikan misi yang sebelumnya telah diteliti selama tiga tahun namun tak kunjung rampung: menyempurnakan konstruksi bagian ekor pesawat F-28.
Dengan ketekunan dan kejeniusannya, Habibie hanya membutuhkan enam bulan untuk memecahkan persoalan tersebut. Ia pun diberi tantangan berikutnya: menyempurnakan struktur gantungan mesin di bagian belakang pesawat eksperimental HFB-320. Hanya tujuh bulan kemudian, tugas itu pun diselesaikan dengan sempurna.
Keberhasilannya membawa Habibie menjadi pemimpin berbagai proyek riset yang menghasilkan terobosan besar dalam termodinamika, aerodinamika, konstruksi, hingga ilmu keretakan. Metode, teori, dan prinsip-prinsip temuannya diakui dunia internasional dan digunakan dalam pembangunan pesawat oleh perusahaan-perusahaan global.
Penghormatan Dunia pada Seorang Putra Bangsa
Habibie mendapat penghormatan besar di Jerman, meskipun ia memilih berkarier di luar negeri selama bertahun-tahun. Ia tinggal bersama istrinya, Hasri Ainun, di kota kecil Kakerbeck yang berjarak sekitar 60 kilometer dari Hamburg. Para wisatawan sering mengunjungi rumah mereka karena para pemandu wisata selalu memperkenalkan tempat itu sebagai kediaman Presiden ke-3 Indonesia dan ahli dirgantara kelas dunia.
Di dunia teknik penerbangan Jerman, Habibie menunjukkan kemampuannya sebagai ilmuwan hebat dari negara berkembang yang mampu bersaing di panggung internasional. Para insinyur sejajar menempatkan namanya dengan tokoh-tokoh legendaris seperti Ludwig Prandtl dan Theodore von Kármán.
Tidak Hanya untuk Indonesia, Tapi Dunia
Penemuan teori crack progression bukanlah karya kecil. Ia menyelamatkan nyawa, mempercepat inovasi desain, serta menurunkan biaya perawatan pesawat secara signifikan. Ini adalah bukti bahwa seorang putra bangsa seperti Habibie mampu memberi manfaat global—membuktikan bahwa bangsa Indonesia memiliki kontribusi penting dalam sejarah peradaban teknologi modern.
Habibie bukan hanya presiden. Ia bukan sekadar wakil presiden. Ia adalah penemu. Seorang teknokrat jenius yang mengabdikan hidupnya untuk ilmu pengetahuan, dan menjadikan kecerdasan sebagai alat untuk memuliakan kemanusiaan.