Daily Dose Indonesia – Ketika dunia terperangkap dalam gelombang besar Perang Dunia II, di belahan Timur, Indonesia memasuki babak baru dalam sejarah kolonialnya. Penjajahan Belanda yang telah berlangsung lebih dari tiga abad tiba-tiba digantikan oleh kehadiran Jepang, yang datang bukan hanya dengan pasukan, tetapi dengan ambisi militer dan politik di Asia Tenggara. Di tengah kekacauan dan perubahan itu, muncul sosok Bung Karno—seorang pemimpin cerdas yang mampu membaca dinamika global dan memanfaatkannya untuk menuntun Indonesia menuju kemerdekaan.
Bung Karno dan Pembacaan Situasi Global
Kedatangan Jepang ke Hindia Belanda bukan sekadar perpindahan kekuasaan kolonial. Ini bagian dari strategi Jepang memperluas pengaruhnya di Asia, sekaligus bagian dari medan tempur dalam Perang Dunia II melawan Sekutu, terutama Amerika Serikat. Namun di balik invasi ini, Bung Karno melihat lebih dari sekadar pergantian penguasa. Ia memahami bahwa Jepang sedang berjudi dengan takdir: berperang dengan negara adidaya seperti Amerika akan membawa risiko besar—dan peluang bagi bangsa yang telah lama dijajah seperti Indonesia.
Di saat banyak tokoh pergerakan nasional lainnya memilih bersembunyi atau menjaga jarak dengan Jepang, Bung Karno justru mengambil langkah taktis. Ia sadar bahwa penjajahan Belanda tengah runtuh. Belanda bahkan sempat mencoba membawa Soekarno sebagai tahanan utama mereka ke Australia, namun upaya itu gagal ketika kapal yang ditumpangi tenggelam, dan Soekarno pun jatuh ke tangan Jepang.
Alih-alih menyambutnya dengan hukuman, Jepang yang paham pengaruh besar Soekarno di mata rakyat Indonesia memilih mengajak bekerja sama. Bung Karno menerima tawaran itu—bukan karena ketakutan atau tunduk, melainkan karena ia tahu ini adalah peluang langka.
Strategi Bung Karno: Kolaborasi Taktis untuk Kemerdekaan
Bung Karno memainkan peran ganda dengan cermat. Di satu sisi, ia bersedia menjadi alat propaganda Jepang di mata rakyat Indonesia. Ia hadir di berbagai program, seperti Putera (Pusat Tenaga Rakyat) dan kampanye mobilisasi tenaga kerja. Tetapi di sisi lain, ia menyusun strategi jangka panjang: memanfaatkan Jepang untuk mempersiapkan rakyat Indonesia menghadapi kembalinya Belanda setelah Jepang tumbang.
Jepang memberikan pelatihan militer kepada rakyat Indonesia untuk berjaga-jaga terhadap invasi Sekutu. Bung Karno menyambutnya, karena ia melihat pelatihan ini sebagai bekal bagi rakyat Indonesia dalam perjuangan melawan Belanda. Organisasi militer seperti PETA (Pembela Tanah Air) yang dibentuk oleh Jepang justru menjadi cikal bakal kekuatan militer nasional setelah proklamasi kemerdekaan.
Dalam pidato dan langkah-langkah politiknya, Bung Karno tetap menjaga keseimbangan antara tampil kooperatif dengan Jepang dan membangkitkan semangat kebangsaan. Banyak pihak menuduhnya sebagai kolaborator Jepang, tetapi Bung Karno menjawabnya dengan tenang:
“Periksalah keuntungan di kedua belah pihak dan Anda akan menemukan bahwa Soekarno memperoleh lebih banyak dibanding dengan apa yang didapatkan oleh Jepang dari Soekarno.”
Sikap ini menunjukkan keyakinan Bung Karno bahwa semua yang ia lakukan adalah demi tujuan besar: membawa Indonesia merdeka.
Menyiapkan Pertahanan: Persiapan Melawan Belanda
Soekarno memahami sejarah. Ia tahu bahwa kekalahan Jepang hanyalah persoalan waktu. Namun kekosongan kekuasaan tidak akan berlangsung lama. Belanda pasti akan kembali, didukung Sekutu, untuk merebut kembali Hindia Belanda. Oleh sebab itu, ia menggunakan masa pendudukan Jepang yang singkat—hanya tiga setengah tahun—untuk menyiapkan rakyat Indonesia dalam dua hal: mentalitas kemerdekaan dan kesiapan militer.
Pelatihan PETA, semangat nasionalisme lewat propaganda, dan jaringan organisasi rakyat seperti Jawa Hokokai, semuanya diarahkan secara tersirat untuk menguatkan kesiapan bangsa. Dan benar saja, ketika Jepang menyerah kepada Sekutu pada Agustus 1945, Indonesia sudah punya modal yang cukup untuk menyatakan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, hanya dua hari setelah bom Nagasaki dijatuhkan.
Tak berhenti di situ, Bung Karno sadar bahwa setelah Jepang kalah, kekuatan kolonial lama akan mencoba kembali. Sekutu, yang mengklaim berperang demi “kebebasan dan demokrasi”, justru datang ke Indonesia dengan membawa agenda kolonial lama. Inggris, yang datang untuk melucuti senjata Jepang, justru membantu Belanda menegakkan kembali kekuasaan kolonial. Mereka bahkan memerintahkan Jepang untuk menumpas “pemberontakan pribumi” dengan kekerasan.
Ini menunjukkan bagaimana perang global digunakan oleh kekuatan besar sebagai alat untuk mempertahankan dominasi, dan Bung Karno sudah mengantisipasi hal ini jauh-jauh hari.
Perang Urat Syaraf Melawan Jepang
Selama masa pendudukan Jepang, Bung Karno mengalami tekanan luar biasa. Ia diawasi ketat, sering diinterogasi, dan hidup dalam perang urat syaraf terus-menerus. Jepang bukan penjajah yang lunak. Mereka brutal, represif, dan sering melakukan kekejaman terhadap rakyat sipil. Namun Bung Karno mampu bertahan, bahkan memutar keadaan menjadi keuntungan bagi perjuangan nasional.
Hanya sedikit rakyat Indonesia saat itu yang benar-benar memahami permainan politik Bung Karno. Banyak yang menilai ia terlalu dekat dengan Jepang. Namun waktu membuktikan bahwa kerja samanya bukanlah penyerahan, melainkan langkah strategis untuk membangun jalan kemerdekaan. Ia menempatkan dirinya dalam posisi yang sulit, tetapi mampu keluar sebagai pemenang sejarah.
Menuju Gerbang Kemerdekaan
Ketika Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, kondisi dunia masih kacau. Jepang baru saja menyerah, dan kekosongan kekuasaan menjadi momen emas bagi bangsa Indonesia. Tanpa kesiapan militer dan jaringan organisasi yang dibentuk selama masa Jepang, kemerdekaan itu tidak akan mungkin diraih dengan cara yang relatif cepat dan terorganisir.
Bung Karno tidak hanya menjadi proklamator, tetapi juga arsitek dari strategi politik yang brilian. Ia memahami kapan harus berkompromi, dan kapan harus bergerak. Ia membaca arah sejarah dan mengambil risiko besar demi mewujudkan mimpi bangsa.
Politik Kecerdikan, Bukan Kolaborasi Buta
Sejarah mencatat Bung Karno bukan sebagai boneka Jepang, melainkan sebagai negarawan yang memahami betul permainan geopolitik. Dalam situasi perang global yang rumit, ia memilih untuk masuk ke dalam lingkaran kekuasaan lawan dan memanfaatkannya untuk kepentingan nasional. Strategi ini tidak hanya berhasil membawa Indonesia ke gerbang kemerdekaan, tetapi juga mewariskan satu pelajaran penting: bahwa perjuangan tidak selalu harus dengan senjata, tetapi juga dengan kecerdasan, taktik, dan keberanian membaca zaman.
Referensi:
Semarr, R. D. (2005). Sistem Kemerdekaan. Saraswati Storybooks:Bali