Mutasi Pejabat Blitar, Bupati Rijanto Bersurat ke Kemendagri

Mutasi Pejabat Blitar, Bupati Rijanto Bersurat ke Kemendagri
Bupati Blitar Rijanto saat memimpin apel ASN di lingkup Pemerintah Kabupaten Blitar.

DDI, Blitar – Mutasi pejabat di lingkungan Pemerintah Kabupaten Blitar menjadi sorotan setelah pernyataan Bupati Rijanto yang menegaskan bahwa proses tersebut tengah berjalan dan tidak bisa dilakukan secara tergesa-gesa. Meski bupati mengutarakan ketidaksabarannya dalam menata pejabat untuk nantinya bisa sejalan dengan visi-misinya.

Dalam sebuah wawancara, Bupati Rijanto menyampaikan bahwa meski mutasi adalah hal yang wajar dalam pemerintahan, pelaksanaannya kini harus melalui tahapan dan regulasi yang ketat.

Bacaan Lainnya

“Mutasi itu pasti ada, tapi sekarang kan tidak semudah itu,” ujar Rijanto usai kegiatan Musrenbang RPJMD kemarin, Selasa (6/5/2025).

Ia menambahkan bahwa seorang kepala daerah tidak bisa langsung memindahkan pejabat seenaknya usai dilantik. “Bupati setelah dilantik langsung memindah orang bisa ditegur banyak orang,” lanjutnya.

Menurut Rijanto, pihaknya telah mempelajari regulasi terkait dan mengajukan permohonan rekomendasi ke pemerintah pusat, termasuk Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan Badan Kepegawaian Negara (BKN). Proses tersebut dinilainya sebagai bentuk ketaatan pada prosedur administratif yang berlaku.

“Kita usulkan ke Kemendagri, kita usulkan ke BKN. Kalau usulan rekomendasi itu turun, tentunya penataan mutlak harus kita lakukan,” tegasnya.

Ketika ditanya apakah usulan tersebut sudah dikirim, Rijanto menjawab singkat, “Sudah. Tinggal menunggu jawabannya.”

Ia menambahkan bahwa pihaknya tidak akan menunggu hingga enam bulan pasca pelantikan untuk melakukan perubahan yang diperlukan.

“Wes ora kanten aku,” ujarnya dalam bahasa Jawa, yang menggambarkan ketegasannya untuk segera menata birokrasi di lingkungan Pemkab Blitar.

Berdasarkan Pasal 162 ayat (3) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, kepala daerah yang baru dilantik memang dilarang melakukan mutasi atau penggantian pejabat di lingkungan pemerintah daerah dalam jangka waktu enam bulan sejak pelantikan, kecuali telah mendapatkan persetujuan tertulis dari Menteri Dalam Negeri.

Aturan ini bertujuan untuk menjaga stabilitas pemerintahan dan mencegah pergantian pejabat yang bersifat politis pasca Pilkada. Meski demikian, ketentuan ini pernah digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) karena dinilai menimbulkan ketidakpastian hukum dalam pelaksanaan kewenangan kepala daerah.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *