Daily Dose Indonesia, Blitar – Menyongsong Indonesia Emas 2045, perhatian terhadap kesehatan mental generasi muda menjadi kunci. Hal itu ditegaskan oleh anggota DPRD Jawa Timur, Erma, dalam acara Sosialisasi Peran Pendidikan, Keluarga, dan Masyarakat dalam Membentuk Kesehatan Mental Menuju Generasi Unggul yang digelar Sabtu(31/5/2025), bersama Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Cabang Blitar.
Dalam paparannya, Erma menekankan bahwa Indonesia kini sedang berada di masa bonus demografi, yang jika tidak dikelola dengan baik—terutama dari sisi kesehatan mental—bisa berubah menjadi bencana sosial.
“Kita ini sedang surplus demografis. Gen Z yang lahir antara 1997 hingga 2012 akan jadi tulang punggung produktivitas Indonesia. Mereka pintar, inovatif, tapi juga sangat rentan secara emosional. Ini yang disebut generasi strawberry,” ujar Erma.
Ia mengkritisi fenomena meningkatnya self-diagnosis di kalangan remaja, di mana media sosial menjadi sumber informasi utama sekaligus arena tekanan sosial. Menurutnya, banyak anak muda yang menyerap informasi tanpa filter hingga menjadikan isu kesehatan mental sebagai tren, bukan solusi.
“Mereka tahu istilah-istilah mental health, tapi tidak punya akses yang tepat untuk menyelesaikan masalahnya. Kebanyakan mereka tidak lari ke orang tua, karena orang tua tidak dianggap sebagai referensi, termasuk sekolah pun hanya mempengaruhi sekitar 30 persen,” jelas Erma.
Peran Negara dan Komunitas: Hadir di Wilayah Anak Muda
Erma mendorong agar pemerintah dan masyarakat menghadirkan layanan yang aksesibel dan ramah di ruang-ruang yang dekat dengan kehidupan Gen Z, seperti media sosial, sekolah, dan komunitas pemuda.
“Kita harus aktifkan Posyandu Remaja di desa-desa, beri pelatihan konselor, dan ubah fungsi BK di sekolah menjadi tempat aman dan nyaman. Karena mereka butuh didengar oleh orang yang mereka percaya dan paham dunia mereka,” ujar politisi PDI Perjuangan tersebut.
Selain itu, Erma menyoroti pentingnya relasi yang relevan antara orang tua dan anak. Ia mengkritik minimnya keterlibatan orang tua dalam kehidupan digital anak-anaknya.
“Orang tua tidak tahu IG anaknya, tidak men-follow IG anaknya, tidak paham apa yang sedang viral. Anak bicara, tapi dianggap angin lalu. Padahal sekarang dunia anak adalah media sosial. Kalau kita ingin mereka terbuka, maka kita harus masuk ke dunia mereka,” tegas legislator perempuan Jatim yang duduk di Komisi B tersebut.
KPI: Kesehatan Mental Jadi Kebutuhan Mendesak
Sementara itu, Titin Dwi Susanti, Sekretaris KPI Cabang Blitar, menegaskan bahwa kegiatan ini merupakan respons langsung atas keresahan kader dan anggota, terutama ibu rumah tangga dan mahasiswa, terhadap meningkatnya kasus-kasus terkait kesehatan mental.
“Anak-anak muda, termasuk mahasiswa di jaringan kami, terus meminta ruang untuk bicara soal kesehatan mental. Bahkan ibu-ibu juga merasa perlu healing karena beban ganda rumah dan kerja,” ujar Titin.
Ia juga menyampaikan bahwa KPI telah aktif melakukan pendampingan kasus bullying dan kekerasan seksual, berjejaring dengan Dinas P3A KB, serta menggandeng berbagai lembaga perempuan lintas organisasi.
“Harapannya, kegiatan ini memperkuat jejaring dan menyamakan visi. Kesehatan mental harus di-highlight dan diadvokasi bersama. Kita butuh kerja kolaboratif, bukan hanya satu kali kegiatan,” tambahnya.
Melalui acara ini, KPI Cabang Blitar menggandeng peserta lintas organisasi perempuan seperti Persit, Bhayangkari, GOW, Aisyiyah, hingga komunitas perempuan Katolik yang terlibat dalam advokasi sosial.