Daily Dose Indonesia – Langkah Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa untuk menarik kembali anggaran Makan Bergizi Gratis (MBG) jika penyerapan tidak optimal menuai apresiasi luas. Meski mendapat penolakan keras dari Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Luhut Binsar Pandjaitan, publik menilai sikap Purbaya lebih berpihak pada kepentingan rakyat ketimbang melindungi kepentingan segelintir pihak.
Dalam pandangan banyak kalangan, keputusan Purbaya mencerminkan kebijakan fiskal yang pro-rakyat, terutama saat serapan MBG terbukti rendah dan efektivitas programnya diragukan. Kebijakan ini juga dinilai menunjukkan integritas seorang Menkeu yang lebih memikirkan kesejahteraan masyarakat ketimbang mempertahankan ego politik atau kepentingan kelompok.
Sejak awal, Luhut dikenal sebagai tokoh yang kerap menonjolkan kesetiaan kepada pimpinannya di pemerintahan, namun kali ini kritik muncul karena ia dianggap lupa bahwa bos terbesar dalam pemerintahan adalah rakyat. Ketika anggaran MBG tidak terserap maksimal, langkah tepat adalah memastikan uang negara tidak terbuang sia-sia dan dialihkan untuk program yang benar-benar mendukung kebutuhan masyarakat luas, seperti subsidi atau bantuan sosial.
Purbaya Fokus pada Efektivitas Anggaran
Purbaya menegaskan akan tetap menarik anggaran MBG yang tidak terserap hingga akhir Oktober 2025 demi mempercepat belanja pemerintah di sektor lain. Ia juga memastikan langkah ini telah mendapatkan restu Presiden Prabowo.
“Terus kalau di akhir Oktober kita bisa hitung dan kita antisipasi penyerapannya hanya akan sekian, ya kita ambil juga uangnya. Kita sebar ke tempat lain atau untuk mengurangi defisit atau untuk mengurangi utang,” kata Purbaya mengutip dari Kumparan Minggu (5/10/2025).
“Dia (Prabowo) (enggak) setuju juga tidak bisa diserap, tidak mengubah apa-apa kan. Dia bilang (ke) saya oke, boleh dia, bagus. Justru kita mau membantu MBG biar diserap lebih cepat Tapi kalau saya tidak ada sanksi, ya mereka santai-santai aja lah,” ujarnya.
Pernyataan tersebut menegaskan bahwa kebijakan ini bukan semata inisiatif Purbaya pribadi, tetapi bagian dari arahan Presiden untuk menjaga disiplin fiskal agar tidak terjadi pemborosan anggaran.
Ekonom Nilai Purbaya Realistis
Langkah Purbaya ini juga mendapat dukungan dari kalangan ekonom. Direktur Eksekutif CELIOS, Bhima Yudhistira, menilai kebijakan tersebut realistis karena dampak ekonomi MBG relatif kecil dibandingkan rencana stimulus lain yang bisa mendorong pertumbuhan ekonomi.
“Realistis Purbaya. MBG ini dampak ekonomi nya kan kecil dibanding rencana Purbaya tambah stimulus ekonomi. MBG ini lebih ke substitusi UMKM sekitar sekolah. Selain itu MBG juga mendorong perebutan bahan pokok di pasar tradisional terutama ayam potong, menciptakan inflasi yang gerus daya beli,” kata Bhima mengutip dari sumber yang sama, Minggu (5/10/2025).
Ia menambahkan, banyaknya kasus keracunan di kalangan penerima manfaat MBG juga menjadi alasan kuat untuk meninjau ulang kebijakan tersebut.
“Kasus keracunan nya tembus 7.000 lebih, sudah cukup untuk moratorium sementara dana MBG,” ujarnya.
Bhima bahkan mengusulkan agar dana MBG yang tidak terserap dialihkan untuk mendukung sektor-sektor lain. Dengan demikian pengalihan dana yang tidak terserap maksimal akan dibelanjakan untuk mendongkrak ekonomi rakyat dari sektor lain selain MBG.
“Jadi Purbaya punya standby account dari dana MBG. Mau dipakai untuk tambahan insentif industri padat karya, mau dorong kenaikan gaji guru dan belanja kesehatan juga bisa,” ujarnya.
Senada, Yusuf Rendy Manilet dari CORE Indonesia juga menekankan perlunya koordinasi lebih erat antara DEN dan Kementerian Keuangan untuk memastikan program MBG dijalankan dengan standar kebersihan dan kelayakan dapur yang lebih baik.
“Dalam konteks ini, Dewan Ekonomi Nasional seharusnya juga melakukan koordinasi yang erat dengan Kementerian Keuangan, terutama dalam meninjau aspek-aspek jangka pendek yang ternyata belum sepenuhnya sejalan dengan tujuan dan harapan dari program MBG,” ujar Yusuf.
“Dengan demikian, keberhasilan program MBG tidak hanya diukur dari penyerapan anggaran yang tinggi, tetapi juga dari kualitas penyelenggaraan yang aman, terencana, dan berkelanjutan bagi para siswa,” kata Yusuf.
Serapan Rendah, Kinerja BGN Dipertanyakan
Hingga 3 Oktober 2025, Kepala Badan Gizi Nasional (BGN) Dadan Hindayana menyebut serapan MBG baru mencapai sepertiga dari total anggaran.
“Hari ini sudah Rp 21,64 triliun, ya jadi sudah mencapai 34 persen untuk selalu keseluruhan,” kata Dadan.
Rendahnya penyerapan tersebut menjadi sorotan karena menunjukkan lemahnya pelaksanaan program di lapangan. Publik mempertanyakan apakah BGN memang tidak becus menjalankan amanat program atau justru malas bekerja. Jika serapan hanya berjalan lambat tanpa ada output yang jelas, penilaian atas keberhasilan program MBG untuk mendukung gizi siswa sulit dilakukan.
Kondisi ini juga berisiko menggagalkan target yang diharapkan Presiden Prabowo sebagai penggagas program MBG. Evaluasi menyeluruh terhadap kinerja BGN menjadi langkah yang tidak bisa ditunda lagi sebelum anggaran tambahan dicairkan.
Dana MBG untuk Kepentingan Rakyat
Dengan kondisi penyerapan yang rendah dan masih adanya persoalan di lapangan seperti keracunan massal, alokasi anggaran MBG sebaiknya diarahkan kembali ke kebijakan yang benar-benar pro rakyat. Misalnya, memperkuat subsidi bahan pokok, bantuan sosial tunai, atau menambah insentif bagi guru dan tenaga kesehatan di daerah.
Langkah Purbaya mengabaikan desakan Luhut untuk mempertahankan anggaran MBG menunjukkan bahwa prioritas fiskal harus selaras dengan kebutuhan rakyat, bukan untuk menjaga citra program semata.
Kebijakan seperti ini diharapkan menjadi contoh bahwa pejabat publik harus berani mengambil keputusan yang tidak selalu populer di lingkaran elite, tetapi memiliki dampak nyata bagi masyarakat luas.