Bupati Pati Di-impeachment, Bersikukuh Tidak Mau Mundur, Begini Proses Pemakzulan Melalui Hak Angket DPRD

Bupati Pati Di-impeachment, Bersikukuh Tidak Mau Mundur, Begini Proses Pemakzulan Melalui Hak Angket DPRD
Bupati Pati Sudewo saat konferensi pers pembatalan kebijakan PBB naik 250 persen.

Daily Dose Indonesia – Suhu politik di Kabupaten Pati memanas setelah rapat paripurna DPRD pada 13 Agustus 2025 memutuskan untuk menggulirkan hak angket guna mengusut kebijakan kontroversial Bupati Sudewo. Seluruh fraksi di DPRD, termasuk Partai Gerindra yang notabene partai pengusung Bupati, sepakat membentuk panitia khusus (pansus) hak angket.

Langkah Hak Angket DPRD ini sebagai respons demonstrasi besar-besaran oleh puluhan ribu warga, menyikapi kebijakan kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) hingga 250 persen. Kebijakan tersebut menuai kemarahan publik setelah Bupati Sudewo bersikap keras, menegaskan bahwa ia tak akan bergeming meski ada demo 50 ribu orang.

Bacaan Lainnya

Walau pada akhirnya kebijakan kenaikan PBB tersebut dibatalkan, kemarahan warga tak mereda. Tuntutan agar Bupati lengser kian menguat, mengingat pernyataan dan sikapnya yang arogan serta tidak menghargai aspirasi rakyat.

Sudewo: Tidak Akan Mundur

Usai rapat paripurna, Bupati Sudewo menegaskan bahwa dia tidak akan mengundurkan diri hanya karena tekanan massa.

“Ya, itu kan hak angket yang dimiliki oleh DPRD. Jadi saya menghormati hak angket tersebut, paripurna tersebut. Tuntutan kan sudah disampaikan tadi. Kalau saya kan dipilih oleh rakyat secara konstitusional dan secara demokratis. Jadi tidak bisa saya harus berhenti dengan tuntutan itu. Harus mundur dengan tuntutan seperti itu. Semuanya ada mekanismenya,” ujar Sudewo.

Memahami Mekanisme Hak Angket dan Pemakzulan Kepala Daerah

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, hak angket adalah hak DPRD untuk melakukan penyelidikan terhadap kebijakan pemerintah daerah yang penting, strategis, berdampak luas, dan diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

Prosesnya dimulai dari pengajuan usulan oleh minimal 15 anggota DPRD dan lebih dari satu fraksi. Setelah disetujui dalam paripurna, dibentuk pansus hak angket untuk mengumpulkan bukti, memanggil saksi, dan meminta keterangan dari pihak terkait, termasuk kepala daerah.

Jika pansus menemukan pelanggaran serius, DPRD dapat mengusulkan pemberhentian kepala daerah kepada Mahkamah Agung (MA) melalui Menteri Dalam Negeri (untuk bupati/wali kota). MA kemudian memeriksa dan memberikan pendapat hukum apakah pelanggaran yang dilakukan memenuhi syarat untuk pemakzulan. Jika MA menyatakan memenuhi syarat, DPRD menggelar paripurna untuk memutuskan pemberhentian, yang selanjutnya ditetapkan oleh Presiden.

Pandangan Ahli: Kebijakan Sepihak Bisa Langgar UU

Ahli Hukum Tata Negara Universitas Andalas, Veri Amsari, menilai kasus Bupati Pati ini memiliki dimensi hukum yang kuat untuk dipersoalkan. Ia mengacu pada Pasal 10 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, yang menegaskan bahwa setiap penyelenggara pemerintahan tidak boleh melampaui wewenang, mencampuradukkan kewenangan, atau bertindak sewenang-wenang.

“Apa yang ditentukan undang-undang dalam pembuatan kebijakan adalah melibatkan partisipasi publik. Bahkan, kalau mau bicara putusan, partisipasi itu harus bermakna. Kalau membuat kebijakan sepihak tanpa tahu bagaimana nasib orang di bawah, tentu itu sudah melanggar sumpah janjinya sebagai kepala daerah,” jelas Veri.

Ia menambahkan, perilaku seperti itu juga melanggar azas-azas umum pemerintahan yang baik seperti profesionalitas, ketertiban, kepastian hukum, dan kepatutan.

“Tidak semudah itu membuat kegaduhan lalu membatalkan kebijakan. Harusnya sebagai kepala daerah, dicari dulu respon publik, dipahami dulu publik, baru dikeluarkan kebijakan. Jangan sebaliknya dibuat dulu, orang marah, baru dicabut. Itu tidak profesional,” tegasnya.

Menunggu Langkah Lanjut DPRD dan MA

Dengan terbentuknya pansus hak angket, proses pemakzulan kini berada pada tahap pengumpulan bukti dan pemeriksaan. Masyarakat Pati menanti apakah DPRD benar-benar akan membawa kasus hingga ke Mahkamah Agung melengserkan bupati. Atau justru berhenti di tengah jalan akibat kompromi politik, dari alur prosesnya yang panjang.

Yang pasti, gelombang protes warga dan sikap tegas DPRD menunjukkan bahwa kasus ini telah menjadi ujian serius bagi sistem demokrasi lokal di Kabupaten Pati.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *