Daily Dose Indonesia – Tanggal 21 Juni setiap tahun menjadi momen penting bagi bangsa Indonesia untuk mengenang wafatnya Presiden Pertama Republik Indonesia, Ir. Soekarno. Namun, haul Bung Karno lebih dari sekadar peringatan wafat. Ini upaya bangsa menghidupkan kembali semangat, pemikiran, dan warisan perjuangan yang pernah coba dihapuskan dari memori kolektif bangsa.
Soekarno dan Perlawanan terhadap Hegemoni Barat
Bung Karno bukan sekadar pemimpin revolusioner, ia adalah simbol perlawanan terhadap imperialisme global. Dalam ranah geopolitik, posisi Indonesia di bawah kepemimpinannya menjadi batu sandungan bagi negara-negara besar seperti Amerika Serikat dan Inggris. Alih-alih menjadi satelit dalam orbit Perang Dingin, Soekarno memilih memainkan taktik Non-Aligned Movement—membangun kerja sama strategis antara negara-negara Dunia Ketiga.
Namun keberpihakan Soekarno pada gerakan anti-kolonial dan semangat revolusioner itulah yang membuatnya menjadi target kekuatan asing. CIA dan agen rahasia Inggris disebut-sebut memainkan peran penting dalam peristiwa berdarah 1965 yang menjadi titik balik kejatuhan Soekarno. Kudeta militer yang menggiring Indonesia dari sistem Nasakom ke poros kapitalisme Barat, tak hanya mengganti wajah kekuasaan, tetapi juga mereduksi seluruh jejak pemikiran dan nilai perjuangan yang ditanam Bung Karno.
Tiga Tahun Terakhir: Bung Karno dalam Sunyi dan Pengasingan
Setelah resmi dilengserkan pada 22 Februari 1967, Soekarno menjalani hari-harinya dalam sunyi. Ia dijadikan tahanan rumah, dijauhkan dari publik, dan secara sistematis “diputus” dari rakyatnya. Pemerintahan Orde Baru berusaha menghapus jejaknya dari buku sejarah, membungkam pidatonya, mengubur pemikirannya.
Ia wafat pada 21 Juni 1970 di Wisma Yaso, dalam status sebagai tahanan politik. Tidak pernah diadili secara hukum, tidak pernah diberi ruang untuk membela diri, namun ditutup kisahnya dengan stigma.
Upaya membungkam Bung Karno bukanlah hanya upaya personal, melainkan bagian dari strategi besar untuk membentuk ulang arah bangsa. Sistem pendidikan diubah, narasi sejarah dimanipulasi, dan generasi baru dibuat tidak mengenal pendiri bangsanya dengan utuh.
Haul sebagai Perlawanan Narasi
Maka tak heran jika Haul Bung Karno hari ini menjadi lebih dari sekadar tradisi keagamaan atau penghormatan. Ini adalah bentuk perlawanan terhadap pelupaan kolektif. Dalam setiap doa dan ziarah, tersirat semangat untuk kembali menghidupkan ajaran Trisakti: Berdaulat di bidang politik, Berdikari dalam ekonomi, dan Berkepribadian dalam kebudayaan.
Melalui haul, publik kembali membuka lembaran sejarah yang sempat digelapkan. Haul menjadi ruang untuk merekatkan kembali hubungan antara rakyat dengan warisan ideologis Soekarno yang dulu pernah dibungkam oleh pengkhianatan kelas kakap.
Konspirasi dan Pengkhianatan
Tidak bisa disangkal, tumbangnya Bung Karno tak lepas dari konspirasi yang dirancang apik oleh kekuatan luar dan dalam negeri. Di tengah propaganda tentang ancaman komunisme, ketakutan massal diciptakan. Jutaan rakyat kehilangan nyawa atau dituduh tanpa pembelaan. Sementara itu, Soeharto, yang dulunya adalah prajurit tentara Belanda dan kemudian Jepang, muncul sebagai penguasa baru yang justru didukung Barat.
Dengan kekuatan militer dan kontrol informasi, Soeharto menyingkirkan Soekarno tanpa perlawanan terbuka. Ia tak hanya menghancurkan karier politik Soekarno, tapi juga membungkam seluruh narasi kebangsaan yang lahir darinya.
Warisan Bung Karno: Tetap Hidup, Tetap Menginspirasi
Meski pernah dicoba dilenyapkan, warisan Bung Karno tak pernah benar-benar mati. Ia hidup dalam wajah monumen nasional, dalam Pancasila yang masih kita baca, dan dalam semangat anak-anak muda yang mengutip pidatonya untuk membela keadilan.
Haul Bung Karno adalah peringatan bahwa bangsa ini pernah punya pemimpin yang mencintai rakyatnya lebih dari dirinya sendiri. Seorang pemimpin yang percaya pada kekuatan bangsa sendiri, yang tidak tunduk pada kekuasaan asing.
Sumber: Semarr, R. D. (2005). Sistem Kemerdekaan. Saraswati Storybooks:Bali