Pertanian Indonesia Kalah dengan Thailand dan Vietnam, Zulhas Sebut Kebijakan Keliru

Pertanian Indonesia Kalah dengan Thailand dan Vietnam, Zulhas Sebut Kebijakan Keliru
Menteri Koordinator bidang Pangan Zulkifli Hasan. (foto:bisnis.com)

Daily Dose Indonesia – Menteri Koordinator bidang Pangan Zulkifli Hasan (Zulhas) blak-blakan menyebutkan bahwa masih ada kekeliruan dalam kebijakan pangan di Indonesia. Alhasil, produksi beras sebelumnya tidak maksimal. Pernyataan tersebut memang diperkuat dari kebijakan rezim pemerintahan sebelumnya kesejahteraan petani kurang diperhatikan yang menjadi akar tidak majunya pertanian di Indonesia.

“Thailand dan Vietnam wilayahnya lebih sedikit, tetapi produktivitasnya luar biasa. Berarti kan kita ada sesuatu yang keliru, kita lahan lebih luas, penduduk lebih banyak, tetapi produktivitas kita tidak mampu seperti teman-teman tadi,” ujar Zulhas seperti dikutip dari Bisnis.com dalam acara Agri Food Summit, Kamis (16/10/2025).

Bacaan Lainnya

Pernyataan Zulhas itu menyoroti akar persoalan mendasar dalam sektor pertanian nasional yang masih tertinggal dibanding negara tetangga. Dengan wilayah lebih luas dan jumlah penduduk besar, Indonesia seharusnya mampu menjadi lumbung pangan di kawasan Asia Tenggara. Namun faktanya, produktivitas pertanian Indonesia belum optimal karena kebijakan yang belum sepenuhnya berpihak pada kesejahteraan petani.

Kesejahteraan Petani Masih Jadi Titik Lemah

Salah satu masalah utama dalam sektor pertanian Indonesia adalah rendahnya kesejahteraan petani. Selama ini, pendapatan petani tidak sebanding dengan kerja keras yang mereka lakukan. Harga gabah sering anjlok di musim panen, sementara biaya pupuk, sewa lahan, dan transportasi terus meningkat. Dalam situasi seperti ini, petani kerap menjadi pihak yang paling lemah dalam rantai distribusi pangan nasional.

Namun, sejak tahun 2025, Presiden Prabowo Subianto mulai memperkenalkan kebijakan baru yang lebih berpihak pada petani. Melalui Keputusan Badan Pangan Nasional Nomor 14/2025, pemerintah mewajibkan Perum Bulog untuk membeli seluruh gabah petani dengan harga tetap Rp6.500 per kilogram, tanpa memandang kualitas gabah. Langkah ini menjadi terobosan besar setelah selama bertahun-tahun Bulog hanya membeli gabah dengan standar kualitas tertentu.

Sebelum kebijakan ini, petani sering kali dirugikan karena gabah yang kadar air atau hampanya tidak sesuai standar akan ditolak atau dibeli dengan harga rendah melalui sistem rafaksi. Dengan kebijakan baru ini, negara hadir memastikan setiap hasil panen petani memiliki nilai jual pasti, sekaligus mendorong stabilitas harga pangan nasional.

Dampak Positif Kebijakan Wajib Beli Gabah

Kebijakan baru ini bukan hanya soal menaikkan harga gabah, melainkan membangun ekosistem pertanian yang berkeadilan. Petani kini memiliki jaminan pasar atas hasil panennya. Hal ini mengurangi ketergantungan terhadap tengkulak yang selama ini memonopoli harga di tingkat bawah. Selain itu, kebijakan ini membantu Bulog mencapai target penyerapan hingga 3 juta ton setara beras dalam rangka menjaga stok pangan nasional.

Lebih jauh, kebijakan ini juga menjadi pondasi untuk memperkuat ketahanan pangan dan memperbaiki taraf hidup masyarakat pedesaan. Ketika petani mendapatkan harga yang layak, mereka memiliki kemampuan ekonomi lebih untuk meningkatkan kualitas produksi — mulai dari membeli benih unggul, alat pertanian modern, hingga berinvestasi pada teknologi baru.

Teknologi Pertanian, Kunci Daya Saing Baru

Kemajuan teknologi telah mengubah wajah pertanian global. Di Thailand dan Vietnam, penggunaan drone pemantau lahan, sistem irigasi otomatis, dan sensor kelembapan tanah menjadi praktik umum yang meningkatkan efisiensi. Indonesia perlu mengikuti langkah serupa agar tidak terus tertinggal.

Teknologi seperti smart farming dan Internet of Things (IoT) kini dapat membantu petani memantau kondisi tanah, cuaca, serta kebutuhan pupuk secara real time. Penggunaan traktor otomatis, drone penyemprot pupuk, hingga aplikasi prediksi hasil panen berbasis data satelit mampu memangkas biaya dan tenaga, serta meningkatkan hasil panen secara signifikan.

Jika diterapkan secara masif, inovasi pertanian ini bukan hanya meningkatkan produktivitas, tetapi juga membuat profesi petani lebih menarik bagi generasi muda.

Regenerasi Petani, Tantangan dan Harapan

Rendahnya minat generasi muda terhadap pertanian selama ini disebabkan oleh stigma bahwa menjadi petani tidak menjanjikan masa depan yang sejahtera. Namun dengan dukungan kebijakan harga yang adil dan pemanfaatan teknologi modern, sektor pertanian bisa berubah menjadi bidang kerja yang produktif dan menguntungkan.

Generasi muda di desa bisa tertarik kembali mengolah lahan di daerahnya jika mereka melihat potensi nyata dari pertanian digital. Melalui pelatihan, akses permodalan, dan dukungan pemerintah, mereka bisa menjadi pionir pertanian modern yang efisien dan ramah lingkungan.

Pemerintah kini perlu memastikan sinergi kebijakan antara kesejahteraan petani dan inovasi teknologi berjalan beriringan. Langkah Presiden Prabowo dengan menetapkan harga gabah Rp6.500/kg adalah awal penting. Namun untuk mewujudkan swasembada pangan dan kedaulatan ekonomi desa, transformasi digital pertanian harus segera diperluas hingga ke pelosok tanah air.

Dengan petani yang sejahtera dan berteknologi, pertanian Indonesia bukan hanya bisa sejajar dengan Vietnam dan Thailand — tetapi justru melampaui mereka sebagai lumbung pangan Asia yang sesungguhnya.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *