Guntur Wahono Kumpulkan 500 Penari Hidupkan Kembali Tarian Majapahit, Langen Beksan

Guntur Wahono Kumpulkan 500 Penari untuk Hidupkan Kembali Tarian Majapahit
Anggota DPRD Jawa Timur, Guntur Wahono, berada di tengah-tengah peserta festival Langen Beksan yang di gelar di Alun-Alun Kanigoro, Komplek Pemkab Blitar, Sabtu (26/7/2025).

Daily Dose Indonesia Upaya pelestarian budaya tak selalu lahir dari panggung seni. Kadang, inisiatif justru datang dari ruang-ruang politik. Seperti yang dilakukan Guntur Wahono, anggota DPRD Jawa Timur sekaligus Sekretaris Badan Kebudayaan Nasional (BKN) PDI Perjuangan Jawa Timur. Ia menjadi penggagas utama Festival Langen Beksan yang digelar di Alun-Alun Kanigoro, Kabupaten Blitar, Sabtu (26/7/2025).

Festival ini tak hanya merayakan keberagaman gerak tari tradisional, tetapi juga menjadi momentum penting dalam menghidupkan kembali Langen Beksan — sebuah tarian rakyat yang berakar dari era Kerajaan Majapahit. Melalui gerakan budaya tersebut, Guntur berhasil mengumpulkan 500 penari dari berbagai daerah di Jawa Timur, menjadikan festival ini sebagai salah satu panggung pelestarian budaya terbesar untuk tarian Langen Beksan dalam beberapa dekade terakhir.

Bacaan Lainnya

“Festival ini bukan hanya pertunjukan, tetapi ajang pembelajaran dan bentuk tanggung jawab kita dalam merawat budaya,” ujar Guntur Wahono di sela pembukaan acara.

Mengangkat Nilai Sejarah Langen Beksan

Guntur menjelaskan, Langen Beksan memiliki nilai historis tinggi yang lekat dengan masyarakat agraris dan spiritualitas masa lalu. Tarian ini dulu menjadi bentuk rasa syukur masyarakat kepada Dewi Sri atas keberkahan panen. Di masa Majapahit, Langen Beksan bahkan ditampilkan sebagai sambutan kehormatan bagi tamu kerajaan, termasuk di kawasan Blitar yang menjadi lokasi Candi Simping — tempat peristirahatan Raden Wijaya, Raja Pertama Majapahit.

“Tarian ini dulunya ditampilkan masyarakat Jimbe saat menyambut tamu kerajaan yang hendak berziarah ke Candi Simping. Ini bukan sekadar seni, tapi warisan spiritual dan sosial kita,” jelasnya.

Melawan Distorsi Sejarah dan Menghapus Stigma

Namun perjalanan Langen Beksan tak selalu mulus. Guntur menyoroti masa penjajahan Belanda sebagai titik balik yang mencemari makna sakral tarian ini. Menurutnya, penjajah memperkenalkan praktik konsumsi minuman keras kepada para penari agar tampil lebih berani, yang pada akhirnya menimbulkan kesan negatif terhadap tarian tersebut.

“Kalau awalnya Langen Beksan itu ungkapan rasa syukur, maka kita harus jaga kemurniannya. Tanpa embel-embel miras. Kita kembalikan kepada fitrahnya,” tegas Guntur.

Banyak Ragam Gaya Langen Beksan dan Regenerasinya

Sebanyak 25 grup tari dari berbagai kabupaten berpartisipasi dalam festival ini, dengan pembagian 10 grup versi Tulungagung dan 15 grup versi Malang. Menurut Guntur, kekayaan gaya tari dari berbagai daerah seperti Tuban, Lamongan, hingga Sragen menjadi bukti bahwa Langen Beksan memiliki karakter lokal yang luas dan kaya.

Yang lebih penting lagi, Guntur menyisipkan misi regenerasi. Ia menargetkan 30 persen peserta festival berasal dari kalangan muda. Hal ini menjadi langkah strategis untuk memastikan kesenian ini tidak berhenti di generasi sekarang.

“Harapan kami, generasi muda bisa ikut terlibat menjaga seni tradisi ini. Kalau tidak, kesenian ini bisa hilang,” kata Guntur.

Jogetan Massal sebagai Simbol Persatuan Budaya

Puncak festival jogetan rakyat bersama. Seluruh peserta, tamu undangan, dan pejabat daerah pada saat itu terlihat ada Bupati Blitar Rijanto, Ketua DPRD Kabupaten Blitar Supriadi, Ketua Dekopinwil Jatim Slamet Sutanto turun ke arena tari menari Langen Beksan dalam semangat bersama peserta festival. Menurut Guntur, jogetan massal ini bukan hanya hiburan, melainkan simbol kebangkitan budaya yang inklusif.

“Kita ingin Langen Beksan kembali menjadi tarian rakyat yang bisa diterima semua kalangan, tanpa stigma negatif,” pungkasnya.

Lewat festival ini, Guntur Wahono membuktikan bahwa pelestarian budaya bisa berjalan beriringan dengan gerakan politik dan sosial. Ia tidak hanya menghidupkan kembali sebuah kesenian, tetapi juga mempersatukan ratusan insan budaya dalam semangat Majapahit: harmoni, penghormatan leluhur, dan keberagaman.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *