RAPBN 2026, Dana Transfer Pusat Dipangkas Besar, Pajak Daerah PBB dan Motor Diprediksi Naik Tahun Depan

RAPBN 2026, Dana Transfer Pusat Dipangkas Besar, Pajak Daerah PBB dan Motor Diprediksi Naik Tahun Depan
Ilustrasi dana transfer pusat ke daerah dikurangi.

Daily Dose Indonesia – Mayoritas pemerintah daerah di Indonesia selama ini sangat bergantung pada dana transfer dari pusat. Karena itu, rencana pemangkasan besar-besaran dana Transfer ke Daerah (TKD) dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026 menimbulkan kegelisahan. Daerah mau tidak mau harus mencari sumber penerimaan tambahan, salah satunya mudahnya adalah opsi menaikkan pajak daerah agar program pembangunan tetap berjalan.

Pemerintah mengurangi anggaran TKD hingga Rp269 triliun. Dalam RAPBN 2026, alokasi TKD ditetapkan Rp650 triliun, jauh lebih kecil dibanding tahun ini yang mencapai Rp919 triliun. “70-80 persen daerah kita itu masih mengandalkan transfer ke daerah atau disebut dengan dana perlimbangan. Potongan atau penurunan transfer ke daerah itu, otomatis daerah harus berupaya untuk meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD),” ucap Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Herman Suparman kepada Tempo, Senin, 18 Agustus 2025.

Bacaan Lainnya

Kemandirian Daerah Diuji

Menurut Herman, PAD memiliki hubungan erat dengan TKD. Semakin tinggi PAD, seharusnya alokasi transfer juga meningkat. Namun pemangkasan membuat pemerintah daerah harus memutar otak. Jalan tercepat ialah menaikkan pungutan, khususnya pajak dan retribusi. Ia mencontohkan kasus demonstrasi di Kabupaten Pati yang menolak kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2). Demo itu terjadi tepat di pekan pembacaan nota keuangan RAPBN 2026. “Misalnya pajak kendaraan bermotor (PKB) dengan opsen-nya. Kemudian, ada juga beberapa pajak yang sekarang menjadi perhatian dunia usaha misalnya pajak alat berat. Dulu digabungkan dengan pajak kendaraan bermotor, dengan undang-undang yang baru dipisah. Tapi itu menimbulkan beban juga,” katanya.

Selain itu, pungutan lain juga rawan ikut terkerek. Pajak penerangan jalan—kini masuk kategori pajak barang dan jasa tertentu—dikhawatirkan naik. Dampaknya bisa terasa langsung pada biaya listrik yang digunakan dunia usaha. Pajak hiburan pun berpotensi ikut terkerek. “Pajak hiburan, terutama untuk beberapa komponen objek, misal spa, kafe, klub malam, mandi uap dan sebagainya. Bagi kami, ini seharusnya diantisipasi oleh pemerintah pusat,” ujar Herman.

Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) menilai kebijakan pemangkasan TKD ini menunjukkan kurangnya kepercayaan pusat kepada daerah. “Ada kecenderungan alokasi anggaran dikuasai oleh pemerintah pusat dengan jumlah K/L yang gemuk atau terjadi resentralisasi keuangan negara,” kata Sekretaris Jenderal Fitra Misbah Hasan. Ia menambahkan, daerah akhirnya hanya menerima dana yang penggunaannya sudah ditentukan. “Ini artinya, daerah tidak lagi dipercaya oleh pemerintah pusat dalam mengelola anggaran negara untuk pencapaian pembangunan,” ujarnya.

Menteri: Kalau Pajak Memberatkan Aturan Dapat Ditunda atau Dibatalkan

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menekankan bahwa penurunan TKD sejalan dengan naiknya anggaran kementerian dan lembaga. Dana tersebut, kata dia, akan dialokasikan untuk program-program yang dampaknya langsung dirasakan masyarakat di daerah.

Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian memastikan koordinasi dengan Kementerian Keuangan agar kemampuan fiskal tiap daerah tetap diperhitungkan. Tito juga mendorong daerah mencari pendapatan tambahan tanpa harus membebani rakyat secara langsung. Ia memberi contoh strategi melalui penyederhanaan izin usaha restoran atau optimalisasi retribusi parkir. Meski begitu, Tito tidak menutup mata pada kenaikan PBB-P2. “Kalau itu memberatkan, maka aturan itu dapat ditunda atau dibatalkan,” ujarnya, merujuk pada PP Nomor 35 Tahun 2023 yang mengatur penyesuaian Nilai Jual Objek Pajak (NJOP).

Dengan kondisi ini, pemerintah daerah berada di persimpangan sulit. Tanpa dana transfer yang besar, mereka harus meningkatkan PAD. Namun jika pajak dinaikkan sembarangan, risiko gejolak sosial seperti di Pati bisa muncul di banyak wilayah lain. RAPBN 2026 menjadi ujian besar bagaimana keseimbangan fiskal pusat-daerah dikelola tanpa mengorbankan masyarakat.

Source

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *