Kado HUT RI 80 di Kabupaten Blitar: Wartawan Dapat Intimidasi Ungkap Ada Pajak Naik 300%

Kado HUT RI 80 di Kabupaten Blitar: Wartawan Dapat Intimidasi Ungkap Ada Pajak Naik 300%
Ilustrasi pejabat Kabupaten Blitar beri ucapan intimidasi ke wartawan ungkap PBB Naik 300 persen di momen HUT RI 80.

Daily Dose Indonesia – Momentum peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-80 Republik Indonesia seharusnya menjadi ruang refleksi tentang arti kemerdekaan. Namun, di Kabupaten Blitar, perayaan kemerdekaan justru tercoreng oleh insiden yang memperlihatkan bagaimana kritik publik diperlakukan secara represif. Intimidasi terhadap wartawan yang mengungkap keluhan warga terkait kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) hingga 300 persen menjadi bukti bahwa masih ada pejabat publik yang gagal memahami makna demokrasi dan kebebasan pers.

Intimidasi sebagai Wujud Antikritik

Ucapan bernada ancaman yang dilontarkan Kepala Bapenda Kabupaten Blitar, Asmaning Ayu, kepada wartawan yang menulis tentang lonjakan PBB adalah bentuk nyata antikritik. Dalam forum resmi di hadapan publik, ia mengucapkan kalimat kasar seperti “tak slentik kowe suwi-suwi” hingga “ojo ngono tak bandem we ngko” yang dalam bahasa Jawa bermakna ancaman fisik. Lebih ironis lagi, pernyataan itu justru disambut tawa oleh sebagian tamu dan wartawan lain, seakan mengamini pembungkaman ruang kritik.

Bacaan Lainnya

Sebagai pejabat publik, tindak tanduk seorang kepala dinas tidak bisa dilepaskan dari etika birokrasi dan tanggung jawab konstitusional. Mengintimidasi jurnalis berarti melukai prinsip keterbukaan informasi, padahal pemerintah dan lembaga negara adalah institusi publik yang harus tunduk pada asas transparansi. Dalam kerangka demokrasi, kritik bukanlah ancaman, melainkan vitamin untuk memperbaiki kinerja.

Fakta di Lapangan Membenarkan Keluhan Warga

Argumen pemerintah bahwa berita soal kenaikan PBB dianggap membesar-besarkan isu terbantahkan oleh fakta. Warga Kelurahan Tawangsari, Blitar, memiliki bukti fisik berupa surat tagihan pajak yang melonjak hingga tiga kali lipat. Kenaikan sebesar 300 persen tentu bukan hal sepele, apalagi di tengah situasi ekonomi yang kian berat dengan harga kebutuhan pokok meroket.

Pengakuan dari Kepala Bidang Penetapan dan Penagihan Pajak Daerah, Roni Arif Satriawan, justru mempertegas masalah. Ia menyebut proses Sistem Informasi Manajemen Objek Pajak (Sismiop) belum rampung di 40 desa. Proses pemutakhiran data ini memungkinkan terjadinya lonjakan nilai pajak yang memberatkan wajib pajak. Artinya, warga yang mengeluh bukan mengada-ada, melainkan benar-benar menghadapi beban tambahan dari sistem perpajakan yang belum tertata rapi.

Fakta ini membuktikan bahwa wartawan hanya menjalankan tugas jurnalistiknya, yakni menyuarakan keresahan masyarakat. Mengintimidasi mereka sama saja menolak kebenaran yang nyata.

Tuduhan Generalisasi dan Prinsip “No One Left Behind”

Dari pihak pemerintah, dalih yang digunakan adalah bahwa pemberitaan wartawan telah mengeneralisasi isu, seakan semua wilayah mengalami kenaikan serupa. Namun, argumen ini rapuh jika ditimbang dengan prinsip dasar bernegara. Konsep demokrasi modern menekankan prinsip no one left behind — tidak seorang pun boleh diabaikan.

Meskipun yang mengalami kenaikan PBB hingga 300 persen hanyalah sebagian kecil warga, fakta bahwa ada satu orang saja yang terdampak sudah cukup menjadi alarm bagi pemerintah. Mengabaikan suara minoritas berarti membuka peluang masalah yang lebih besar di kemudian hari. Hari ini mungkin hanya warga Tawangsari yang tercekik, tetapi jika pola ini dibiarkan, esok bisa saja ribuan warga lain menghadapi beban pajak serupa.

Demokrasi Tercoreng di Hari Kemerdekaan

Kasus intimidasi terhadap wartawan di Kabupaten Blitar menjadi refleksi pahit pada peringatan HUT RI ke-80. Alih-alih menghadirkan kado kebijakan yang menyejukkan, pemerintah daerah justru menunjukkan wajah antikritik dengan membungkam suara pers. Padahal, kritik dan keluhan warga adalah bagian sah dari demokrasi yang dijamin konstitusi.

Menggunakan dalih generalisasi untuk menepis fakta tidak bisa membenarkan tindakan intimidatif. Justru, prinsip no one left behind harus menjadi pegangan agar kebijakan publik tidak mengorbankan warga, sekecil apa pun jumlahnya. Jika pemerintah gagal mengelola kritik dan memilih jalan pembungkaman, maka semangat kemerdekaan kehilangan maknanya.

Kabupaten Blitar, 17 Agustus 2025, pada momentum kemerdekaan ke-80, seharusnya merayakan demokrasi, bukan menodainya dengan intimidasi.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *