Daily Dose Indonesia – Penerimaan pajak Indonesia di awal tahun 2025 mencatat tren pemasukan jauh dari target yang mengkhawatirkan. Meski pemerintah telah menerapkan sistem digitalisasi lewat Coretax, namun berbagai keluhan justru bermunculan dari para wajib pajak. Sistem yang seharusnya memudahkan administrasi perpajakan ini kerap dianggap lemot, susah diakses, bahkan membingungkan pengguna. Dalam kondisi pemasukan negara yang “seret”, banyak pihak mempertanyakan efektivitas sistem baru tersebut.
Namun di balik semua problematika pajak hari ini, siapa sangka bahwa konsep pemungutan pajak di Indonesia sudah dipikirkan jauh sebelum negeri ini merdeka. Bahkan, istilah “pajak” secara resmi pertama kali tercantum dalam dokumen kenegaraan pada 14 Juli 1945, dalam Sidang Kedua BPUPKI.
Istilah Pajak Resmi Masuk UUD 1945 pada 14 Juli
Tanggal 14 Juli yang kini diperingati sebagai Hari Pajak Nasional, bukan sekadar simbol seremonial. Tanggal ini menandai momen historis ketika kata “pajak” pertama kali dicantumkan dalam rancangan Undang-Undang Dasar 1945, tepatnya di Pasal 23 ayat 2, yang berbunyi:
“Segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan undang-undang.”
Sidang BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan) yang dipimpin oleh Dr. Radjiman Wedyodiningrat menjadi ruang diskusi penting yang merumuskan dasar negara dan sistem kenegaraan masa depan Indonesia. Pada Sidang Kedua BPUPKI yang berlangsung antara 10 hingga 17 Juli 1945, berbagai usulan konkret mulai dimasukkan ke dalam naskah UUD, termasuk sistem perpajakan yang diatur secara hukum.
Dari sidang-sidang itu Radjiman mengajukan Lima Usulan Pokok, yang isinya:
- Indonesia harus segera merdeka.
- Dasar negara harus jelas.
- Bentuk negara dan sistem pemerintahan harus ditentukan.
- Pemungutan pajak harus diatur oleh hukum.
- Keuangan negara harus dikelola secara bertanggung jawab.
Dari kelima usulan itu, poin keempat dan kelima secara langsung berkaitan dengan sistem pajak dan manajemen fiskal. Inilah cikal bakal masuknya Pasal 23 dalam UUD 1945 yang mengatur perpajakan secara sah dan konstitusional.
Peristiwa Sidang BPUPKI dan Akar Sistem Keuangan Negara
BPUPKI dibentuk oleh pemerintah pendudukan Jepang pada 29 April 1945, dengan tugas utama merancang kemerdekaan Indonesia. Meski awalnya hanya untuk wilayah Jawa, badan serupa juga dibentuk di Sumatera. Sidang pertama BPUPKI digelar antara 28 Mei hingga 1 Juni 1945, yang melahirkan pidato monumental Ir. Soekarno tentang “Pancasila”.
Pada 22 Juni 1945, terbentuk Panitia Sembilan untuk menyusun naskah Piagam Jakarta. Lalu pada Sidang Kedua BPUPKI tanggal 14 Juli 1945, struktur rancangan UUD mulai dimatangkan secara sistematis. Di sinilah istilah pajak dimasukkan, menunjukkan bahwa sejak awal, para pendiri bangsa telah menaruh perhatian besar pada sistem pembiayaan negara yang adil, sah, dan berdasarkan hukum.
Setelah Jepang menyerah kepada Sekutu, tongkat estafet perumusan negara diambil oleh PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) yang kemudian mengesahkan UUD 1945 pada 18 Agustus 1945. Pasal 23 tentang pajak tetap dipertahankan sebagai bagian integral dari kerangka hukum keuangan negara.
Tantangan Sistem Pajak Modern
Ironisnya, setelah hampir delapan dekade sistem perpajakan masuk dalam UUD, tantangan dalam implementasinya masih kerap muncul. Tahun 2025 menjadi salah satu contohnya. Walau pemerintah telah meluncurkan Coretax, sebuah sistem digitalisasi pajak yang mengintegrasikan data dan transaksi fiskal secara nasional, realitasnya belum seideal yang diharapkan.
Banyak pelaku usaha dan konsultan pajak mengeluhkan bahwa akses sistem kerap terganggu, antarmuka pengguna sulit dipahami, serta sering mengalami kendala teknis. Dalam kondisi penerimaan negara yang tengah melambat, justru sistem digital yang seharusnya menjadi solusi malah menyumbang keruwetan baru.
Harapan dari Semangat Awal Para Pendiri Bangsa
Melihat kembali ke semangat para perumus UUD 1945, kita mendapat pelajaran penting: sistem perpajakan bukan hanya soal menarik pungutan, melainkan bagian dari kontrak sosial dan pondasi kedaulatan negara.
Jika di masa penjajahan dan dalam waktu yang sangat singkat para pendiri bangsa sudah menyadari pentingnya keuangan negara yang tertib dan akuntabel, maka saat ini kita seharusnya mampu menyempurnakan sistem tersebut dengan teknologi yang lebih canggih.
Harapannya, sistem perpajakan Indonesia bisa kembali pada marwahnya: transparan, adil, mudah diakses, dan mampu menopang pembangunan nasional. Bukan malah membingungkan, atau mempersulit rakyat dalam menjalankan kewajibannya.
Referensi:
Toto Sugiarto. (2021). Ensiklopedi Pancasila: Sejarah Lahirnya Pancasila dan UUD 1945. Hikam Pustaka