Daily Dose Indonesia – Pada 20 Juli 1969, dunia terpana melihat manusia pertama menjejakkan kaki di Bulan. Neil Armstrong dan Buzz Aldrin, dalam misi Apollo 11, membuktikan bahwa mimpi besar bisa menjadi kenyataan lewat ilmu pengetahuan dan keberanian.
Namun tepat 58 tahun setelah tonggak sejarah itu, sebagian masyarakat Indonesia justru masih disibukkan oleh tren sound horeg—konvoi sound system keliling yang sering memutar musik keras hingga larut malam, kadang disertai tarian seronok, dan sering kali mengganggu warga.
Pertanyaannya: kenapa kita masih sibuk menambah volume speaker, bukan volume inovasi?
Pendaratan ke Bulan: Lompatan Besar Sains dan Peradaban
Misi Apollo 11 adalah salah satu capaian paling monumental dalam sejarah peradaban manusia. Armstrong menyatakan “That’s one small step for a man, one giant leap for mankind.”
Kalimat itu bukan sekadar simbol. Pendaratan di Bulan menjadi dasar berkembangnya berbagai teknologi:
- Miniaturisasi komputer (cikal bakal smartphone dan internet)
- Material canggih untuk pesawat, mobil, hingga kedokteran
- Teknologi navigasi dan komunikasi satelit
- Model riset ilmiah global dan multidisipliner
Amerika Serikat tak hanya menunjukkan superioritas teknologi, tetapi juga membuka era baru eksplorasi luar angkasa dan pengembangan ilmu pengetahuan.
Di Sini, Sound Horeg Jadi Tren: Bising Tanpa Arah
Sementara itu di Indonesia, sebagian warga justru menjadikan sound horeg sebagai hiburan yang digandrungi. Mobil bak terbuka disulap jadi panggung berjalan, lengkap dengan DJ dan speaker raksasa. Tak jarang aktivitas ini dilakukan di permukiman padat penduduk dan di jam-jam istirahat malam.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur pun angkat suara. Ketua Komisi Fatwa MUI Jatim, KH Ma’ruf Khozin, menjelaskan tentang Fatwa Nomor 1 Tahun 2025 bahwa sound horeg yang biasanya diarak di pemukiman masyarakat dengan musik hiburan untuk joget-joget bisa merugikan masyarakat.
“Penggunaan sound horeg dengan intensitas suara melebihi batas wajar, yang mengakibatkan kerugian terhadap pihak lain, wajib dilakukan penggantian,” kata KH Ma’ruf Khozin, dikutip dari CNBC, Sabtu (9/7/2025).
“Penggunaan sound horeg yang disertai joget pria-wanita dengan membuka aurat di tempat umum hukumnya haram, baik dilakukan di area terbatas maupun keliling pemukiman warga,” imbuhnya.
Meski begitu, MUI masih membuka ruang untuk pemanfaatan yang wajar dan positif:
“Penggunaan sound horeg secara wajar untuk kegiatan seperti pengajian, shalawatan, atau resepsi yang steril dari unsur haram, hukumnya boleh,” tuturnya.
MUI juga mendorong pemerintah daerah membuat aturan tegas tentang standar suara, perizinan, dan sanksi, serta meminta Kemenkumham tidak mengeluarkan izin HKI untuk sound horeg sebelum ada perbaikan menyeluruh.
Refleksi: Kita Butuh Ilmu, Bukan Cuma Hiburan
Perbedaan ini sangat kontras. Bangsa lain menjejakkan kaki ke Bulan, kita masih terjebak euforia suara keras dan tontonan hura-hura. Padahal, Indonesia punya banyak anak muda cerdas yang bisa jadi ilmuwan, penemu, dan inovator—asal diberi ruang dan inspirasi.
Alih-alih larut dalam euforia suara bising tanpa makna, mari dorong generasi muda untuk menciptakan temuan bermanfaat, mengembangkan teknologi ramah lingkungan, serta memperkuat budaya literasi sains. Indonesia memiliki potensi besar: anak-anak cerdas, sumber daya melimpah, dan inspirasi tak terbatas dari sejarah dunia.
Jangan sampai, 58 tahun setelah manusia mendarat di bulan, kita justru sibuk berjoget di bawah dentuman sound horeg yang menyamarkan suara akal sehat.
Arahkan Energi ke Ilmu, Bukan ke Decibel
Waktunya kita beranjak dari budaya bising tanpa isi, menuju budaya produktif dan inovatif.
Mari:
- Bangun semangat eksplorasi seperti para ilmuwan NASA
- Dorong anak-anak belajar sains, bukan hanya joget di jalan
- Kembangkan teknologi lokal, bukan sekadar ikut tren tak mendidik
- Hadirkan hiburan yang membangun, bukan merusak
Kalau bangsa lain bisa membangun roket untuk menembus atmosfer, kenapa kita masih sibuk memperbesar watt speaker?