Daily Dose Indonesia – Vonis terhadap Thomas Trikasih Lembong atau Tom Lembong—mantan Menteri Perdagangan era Presiden Joko Widodo periode pertama—memunculkan pertanyaan mendasar: benarkah penegakan hukum di Indonesia adil terhadap setiap pejabat publik? Atau justru selektif, menghukum yang efisien dan membiarkan yang menyalahgunakan kekuasaan secara diam-diam?
Pada 18 Juli 2025, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta memvonis Tom Lembong 4 tahun 6 bulan penjara dan denda Rp750 juta, karena dianggap merugikan negara dalam kasus impor gula. Ia dinilai memperkaya pihak swasta melalui kebijakan yang tidak sesuai dengan peraturan, meski tak ditemukan satu rupiah pun aliran dana kepada dirinya.
Namun, yang paling menggelitik dari seluruh putusan adalah salah satu pertimbangan hakim yang menyatakan bahwa kebijakan Tom lebih “mengedepankan ekonomi kapitalis dibanding ekonomi Pancasila”.
“Kebijakan menjaga ketersediaan gula nasional dan stabilitas harga gula nasional lebih mengedepankan ekonomi kapitalis dibandingkan sistem demokrasi ekonomi dan sistem ekonomi Pancasila…”
— Ketua Majelis Hakim Dennie Arsan Fatrika, 18 Juli 2025 (dikutip dari Republika & Kompas Money)
Pernyataan ini menimbulkan kekhawatiran: apakah pejabat kini bisa dipidana karena pendekatan ekonominya tidak sesuai tafsir ideologi tertentu? Dan apakah pendekatan kapitalisme murni, selama tidak mengandung niat jahat dan justru melindungi konsumen, pantas dihukum?
Hilirisasi dan Efisiensi: Apa Salahnya?
Kebijakan Tom justru menunjukkan pendekatan rasional dan progresif. Saat itu, permintaan gula industri melonjak tajam. BUMN PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI) belum memiliki fasilitas pengolahan gula kristal mentah (GKM) menjadi gula kristal putih (GKP), sedangkan kebutuhan pasar mendesak.
Tom mengambil langkah efisien: mengimpor GKM dengan harga murah dan mengandalkan pihak swasta untuk mengolahnya di dalam negeri. Gula yang dihasilkan kemudian dijual ke BUMN. Bahasa sederhananya: hilirisasi — sesuatu yang justru diagung-agungkan dalam narasi pembangunan nasional saat ini.
Keputusan itu berdampak langsung: harga gula tetap stabil, tidak terjadi lonjakan harga di pasaran. Tujuan kebijakan tercapai. Negara diuntungkan secara sosial.
Namun kemudian, Tom dianggap melanggar aturan karena melibatkan pihak swasta dalam impor, bukan BUMN. Padahal kenyataannya, saat itu BUMN yang ditunjuk memang tidak memiliki kapasitas teknis.
Lucunya, ketika kebijakan dilakukan berdasarkan kebutuhan lapangan dan untuk kepentingan konsumen, yang disorot justru bentuk “ketidaktaatan formal” terhadap aturan teknis.
Tidak Ada Mens Rea, Tidak Ada Uang Masuk, Tapi Dipenjara
Dalam putusan pengadilan, tidak disebutkan adanya aliran dana ke Tom Lembong. Tidak ada fee proyek. Tidak ada kepentingan keluarga. Tom tidak membentuk perusahaan cangkang atau menyuruh kroni mengambil untung.
Kejahatan yang dituduhkan hanya satu: ia membuat kebijakan yang “memperkaya pihak lain”.
Namun pertanyaannya, bagaimana bisa kita menyalahkan seorang pejabat publik karena hasil akhir kebijakannya menguntungkan pihak tertentu, padahal tujuannya adalah menyelamatkan harga pasar dan menjaga pasokan bahan pokok.
Lebih dari itu, praktik seperti ini bukan hal langka. Banyak menteri dan pejabat daerah lainnya menjalankan pendekatan serupa. Bahkan, tidak sedikit yang menggunakan kedekatan politik atau jaringan pribadi untuk menunjuk perusahaan tertentu secara langsung, tanpa transparansi. Itulah yang disebut sebagai kapitalisme crony (rente) — dan itu justru tidak pernah dipidana.

Kapitalisme Murni Dipenjara, Kapitalisme Rente Dibiarkan?
Tom Lembong bukan pengusaha, bukan pemilik pabrik gula, bukan makelar impor. Ia mantan bankir, ekonom profesional, dan tokoh yang di Pemilu 2024 lalu mendukung pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar — lawan dari koalisi pemenang saat ini.
Muncul pertanyaan wajar di masyarakat: apakah vonis ini bersifat netral? Atau ada aroma politis yang menyelimuti?
Sementara itu di banyak daerah, praktik kapitalisme crony atau rente terus berjalan. Proyek dikunci hanya untuk satu pengusaha yang dekat pejabat daerah, izin pertambangan dibagi hanya ke kroni, bantuan sosial disalurkan ke pihak tertentu. Semua ini terang-terangan, yang padahal ada perusahaan lain yang kapabel, tapi akhirnya perusahaan yang menang tetap yang punya kedekatan dengan pejabat daerah. Namun tak satu pun dari aksi ini ada yang ditangkap.
Jika pendekatan Tom Lembong dihukum karena efisien namun melibatkan swasta, mengapa pejabat daerah yang menunjuk satu perusahaan secara diam-diam dan mendapat keuntungan politik tetap aman?
Tafsir Ekonomi Pancasila Tidak Boleh Jadi Alat Hukum
Pernyataan hakim bahwa Tom Lembong mengedepankan kapitalisme ketimbang ekonomi Pancasila memang terdengar nasionalistis. Namun dalam konteks hukum, itu berbahaya.
Sebab bila tafsir ideologi digunakan sebagai alasan vonis, tanpa parameter objektif, maka siapa pun bisa dipidana hanya karena pendekatannya berbeda.
Apakah penggunaan teknologi asing dalam proyek nasional juga bertentangan dengan ekonomi Pancasila? Apakah membangun jalan tol lewat skema kerja sama swasta juga bentuk kapitalisme?
Jika pejabat hanya diizinkan mengambil kebijakan sesuai tafsir tunggal, maka reformasi dan keberanian inovasi akan mati. Yang tersisa hanyalah birokrat yang takut mengambil risiko — sekalipun demi rakyat.
Refleksi Vonis Tom Lembong
Kasus Tom Lembong seharusnya menjadi refleksi nasional. Apakah kita sedang menghukum keberanian mengambil keputusan? Apakah kita sedang memberangus pendekatan ekonomi rasional demi mempertahankan tafsir formalistik yang sempit?
Yang lebih penting: jika kita bisa memenjarakan Tom Lembong karena efisiensi pasar, mengapa kita tidak menindak para pejabat daerah yang sudah bertahun-tahun bermain rente dengan kroni mereka sendiri?
Kalau hukum hanya tajam ke bawah dan ke samping, tapi tumpul ke atas dan ke dalam, maka sesungguhnya kita bukan sedang menegakkan keadilan. Kita sedang menciptakan ketakutan.